Selasa, 27 Maret 2012

Makalah Tauhid



KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah tuhan semesta alam, yang telah menganugerahkan keni’matan kepada semua hamba-Nya, mengaruniakan atas jiwa mereka segala nur agama dan tugasnya memberi petunjuk kepada hamba-Nya menuju kebaikan dan jalan yang benar.
Dalam makalah ini didalamnya membahas tentang “Iman kepada qada dan qadar”. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah sederhana ini masih jauh dari sempurna, baik dari materinya maupun susunan bahasanya. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan berbagai kritik dan saran dari manapun datangnya demi perbaikan dan penyempurnaan pada makalah-makalah berikutnya.
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan menambah pengetahuan kita akan iman kepada qada dan qadar.
                       


           
Bandung  2012

Penulis





DAFTRA ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

PEMBAHASAN
1.       Pengertian beriman kepada Qada’ dan Qadar
2.        Dalil kebenaran adanya Qada dan Qadar
3.       Hubungan antara Qadha dan Qadar
4.       Kaitan antara Takdir, Ikhtiar, dan Tawakal
5.       Fungsi Iman kepada Qada dan Qadar datam kehidupan Sehari-­hari
6.       Ciri-ciri dari beriman kepada qadha dan qadhar
7.       tanda-tanda orang yang Beriman kepada Qada dan qadar
   
       DAFTAR PUSTAKA















PEMBAHASAN

1.       Pengertian beriman kepada Qada’ dan Qadar
Iman adalah keyakinan yang diyakini didalam hati, diucapkan dengan lisan, dan dilaksanakan dengan amal perbuatan.
Qada menurut bahasa berarti hukum, perintah, memberikan, menghendaki, dan menjadikan.  Sedangkan qadar berarti batasan atau menetapkan ukuran.
Secara etimologi, qada dapat diartikan sebagai pemutusan, perintah, dan pemberitaan.  Imam az-Zuhri berkata, “Qadha secara etimologi memiliki arti yang banyak. Dan semua pengertian yang berkaitan dengan qadha kembali kepada makna kesempurnaan….” (An-Nihayat fii Ghariib al-Hadits, Ibnu Al-Atsir).  Sedangkan qadar berasal dari kata qaddara, yuqaddiru, taqdiiran yang berarti penentuan.
Dari sudut terminologi, qadha adalah pengetahuan yang lampau, yang telah ditetapkan oleh Allah SWT pada zaman azali. Adapun qadar adalah terjadinya suatu ciptaan yang sesuai dengan penetapan (qadha).  Sedangkan arti terminologis qada dan qadar menurut Ar-Ragib ialah :
”Qadar ialah menentukan batas (ukuran) sebuah rancangan; seperti besar dan umur alam semesta, lamanya siang dan malam, anatomi dan fisiologi makhluk nabati dan hewani, dan lain-lain; sedang qada ialah menetapkan rancangan tersebut.”
Atau secara sederhana, qada dapat diartikan sebagai ketetapan Allah yang telah ditetapkan tetapi tidak kita ketahui.  Sedangkan qadar ialah ketetapan Allah yang telah terbukti dan diketahui sudah terjadi.  Dapat pula dikatakan bahwa qada adalah ketentuan atau ketetapan, sedangkan qadar adalah ukuran.  Dengan demikian yang dimaksud dengan qada dan qadar atau takdir adalah ketentuan atau ketetapan Allah menurut ukuran atau norma tertentu.
Firman Allah mengenai qada dan qadar terdapat dalam surat Al Ahzab ayat 36, yaitu :
Arti : Dan tidakkah patut bagi laki-laki yang mumin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mumin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.
Selain itu, Allah juga berfirman dalam surat Al Qamar ayat 49, yakni :
Arti : Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.
Beriman kepada qada dan qadar berarti mengimani rukun-rukunnya.  Iman kepada qada dan qadar memiliki empat rukun, antara lain :
  • Ilmu Allah SWT
Beriman kepada qada dan qadar berarti harus beriman kepada Ilmu Allah yang merupakan deretan sifat-sifat-Nya sejak azali.  Allah mengetahui segala sesuatu.  Tidak ada makhluk sekecil apa pun di langit dan di bumi ini yang tidak Dia ketahui.  Dia mengetahui seluruh makhluk-Nya sebelum mereka diciptakan. Dia juga mengetahui kondisi dan hal-hal yang sudah terjadi maupun yang akan terjadi di masa yang akan datang.
  • Penulisan Takdir
Sebagai mukmin, kita harus percaya bahwa segala sesuatu yang terjadi, baik di masa lampau, masa kini, maupun masa yang akan datang, semuanya telah dicatat dalam Lauh Mahfuzh dan tidak ada sesuatu pun yang terlupakan oleh-Nya.
  • Masyi’atullah (Kehendak Allah) dan Qudrat (Kekuasaan Allah)
Seorang mukmin yang telah mengimani qada dan qadar harus mengimani masyi`ah (kehendak Allah) dan kekuasaan-Nya yang menyeluruh. Apapun yang Dia kehendaki pasti terjadi meskipun manusia tidak menginginkannya. Begitu pula sebaliknya, apa pun yang tidak dikehendaki pasti tidak akan terjadi meskipun manusia memohon dan menghendakinya. Hal ini bukan dikarenakan Allah tidak mampu melainkan karena Allah tidak menghendakinya.
  • Penciptaan Allah
Ketika beriman terhadap qada dan qadar, seorang mukmin harus mengimani bahwa Allah-lah pencipta segala sesuatu, tidak ada Khaliq selain-Nya dan tidak ada Rabb semesta alam ini selain Dia.
Inilah empat rukun beriman kepada qada dan qadar yang harus diyakini setiap muslim. Maka, apabila salah satu di antara empat rukun ini diabaikan atau didustakan, niscaya kita tidak akan pernah sampai kepada gerbang keimanan yang sesungguhnya. Sebab, mendustakan rukun-rukun tersebut berarti merusak bangunan iman terhadap qada dan qadar dan ketika bangunan iman itu rusak, maka hal tersebut juga akan menimbulkan kerusakan pada bangunan tauhid itu sendiri.

2. Dalil kebenaran adanya Qada dan Qadar
Takdir terbagi menjadi dua bagian,yakninya:

a.       Taqdir Mu’allaq
Taqdir mu’allaq adalah taqdir Allah swt yang masih dapat diusahakan kejadianya oleh manusia. Sebagai contoh dalam kehidupan ini, kita sering melihat dan mengalami sunnahtullah, hukum Allah yang berlaku di bumi ini, yaitu hukum sebab akibat yang bersifat tetap yang merupakan qada dan qadar sesuai kehendak swt. Seperti, bumi brputar pada porosnya 24 jam sehari; bersama bulan, bumi mengitari bumi kurang lebih 365 hari setahun; bulan mengitari bumi setahun {356 hari}; air kalau dipanaskan pada suhu 100 celsius akan mendidih, dan kalau didinginkan pada suhu 0 celsius akan menjadi es; matahari terbit disebelah timur dan teggelam disebelah barat; dan banyak lagi contoh lainnya, kalau kita mau memikirkannya. Contohnya lagi semua manusia pasti akan mati, seperti dalam firman Allah SWT :
Artinya: "tiap-tiap yang bernyawa akan merasakan mati sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu." (QS Ali Imran: 185)
b.       Taqdir Mubram
Taqdir mubram ialah taqdir yang pasti terjadi dan tidak dpat dielakkan kejadiannya. Dapat kita beri contoh nasib manusia, lahir, kematian, jodoh dan rizkinya, terjadinya kiamat. Dan sebagainya.
Qada’qadar Allah swt yang berhubungan dengan nasib manusia adalah rasia Allah SWT. Hanya Allah swt yang mengetahuinya. Manusia diperintahkan mengetahui qada’dan qadarnya melalui usaha dan ikhtiar. Kapan manusia lahir, bagaimana ststusnya sosialnya, bagaimana rizkinya ,siapa anak istrinya,dan kapanya meninggalnya,adalah rahasia Allah SWT. Jalan hidup manusia seperti itusdudah ditetapkan sejak zaman azali yaitu masa sebelum terjadinya sesuatuatau massa yang tidak bermulaan. Tidak seorang pun yang mengetahui hal tersebut. Adapun yang pernah kita dengar peramal yang hebat, ketahuilah wahai saudara ku itu adalah kebohongan balaka. Kalaupun ada orang seperti itu maka amal ibadahnya tidak akan diterima. Bahkan para tukng ramal pun mendapat azab dengan siksaan yang pedih karena telah membohongi manusia dengan pura-pura mengetahui rahasia Allah SWT.
 Allah swt berFirman:





Artiya: ”setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam kitab {lauh mahfuz} sebelum kami mewujudkannya. Sungguh yang demikian itu mudah bagi Allah.”  {Q.S.Al-hadid,}

Ayat diatas menjelaskan bahwa manusia sebelum diciptakan, ALLAH SWT teriebih dahulu telah menentukan ketetapan-ketetapanNya bagi manusia yang ditulis dilauh mahfuz
. Dengan menyakini qada dan qadarnya, lantas apakah kita hgarus pasrah begitu saja? Toh, semua nasib manusia dan perbuatan manusia telah datentukan oleh ALLAH SWT. Tapi siapakah yang mentaqdirkan manusia itu? Siapa yang tau bahwa kita-kita manjadi petani, pedagang, atau bahkan penjahat, siapa jodoh kita. Bagaimana rizki kita, dan lain sebagainya? Siapa yang tau kalau kita jadi petani, pedagang ataukah pejabat? Tidak ada seorang pun yang tau! Untuk itu alangkah naifnya kalau kit pasrah begitu saja. Pasrah berarti mernunggu taqdir, sedangkan taqdir itu tidak kita ketahui, oleh sebab itu, sikap hidup ialah mencari taqdir. Artinya berusaha dengan sekuat tenaga melalui berbagai cara yang ditunjukan Allah SWT. Untuk menentukan nasib kita sendiri. Itulah yang disebut dengan ikhtiar.


Allah SWT berfirman:


Artinya:“…….sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan mereka sendiri . Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tidak dapat yang menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia, :”{Q.S.ArRA’DU,13:11).

Jadi,  jika manusia ingin nasibnya membaik, mereka harus merubahnya simaksimal mungkin ke yang lebih baik. Tampa usaha yang kuat Allah swt tidak akan mengubah tiba-tiba. Namun seandainya Allah SWT tetap menghendaki nasibnya tidak berubah, itu adalah hak Allah SWT.


3.       Hubungan antara Qadha dan Qadar
Pada uraian tentang pengertian qadha dan qadar dijelaskan bahwa antara qadha dan qadar selalu berhubungan erat . Qadha adalah ketentuan, hukum atau rencana Allah sejak zaman azali. Qadar adalah kenyataan dari ketentuan atau hukum Allah. Jadi hubungan antara qadha qadar ibarat rencana dan perbuatan.
Perbuatan Allah berupa qadar-Nya selalu sesuai dengan ketentuan-Nya. Di dalam surat Al-Hijr ayat 21 Allah berfirman, yang artinya sebagai berikut:
Artinya ” Dan tidak sesuatupun melainkan disisi kami-lah khazanahnya; dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu.”
Orang kadang-kadang menggunakan istilah qadha dan qadar dengan satu istilah, yaitu Qadar atau takdir. Jika ada orang terkena musibah, lalu orang tersebut mengatakan, ”sudah takdir”, maksudnya qadha dan qadar.


4.        Kaitan antara Takdir, Ikhtiar, dan Tawakal
Takdir sebagaimana telah dijelaskan adalah takaran, ukuran, ketetapan, peraturan, undang-undang yang diciptakan Allah tertulis di Lauh Mahfuz sejak zaman azali dan berlaku bagi semua makhluk-Nya. Takdir ada dua macam, yaitu takdir mubram dimana makhluk tidak diberi peluang atau kesempatan untuk memilih dan mengubahnya, dan takdir muallaq dimana makhluk diberi peluang atau kesempatan untuk memilih dan mengubahnya.
Ikhtiar adalah berusaha melakukan segala daya dan upaya untuk mencapai sesuatu sesuai dengan yang dikehendaki. Menurut bahasa Arab, ikhtiar berarti 'memilih'. Dua pengertian yang berbeda itu tetap mempunyai hubungan yang erat dan merupakan mata rantai yang tidak dapat dipisahkan. Sebagai contoh, setiap orang mempunyai kebebasan memilih untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ada yang mencari nafkah dengan berdagang, bertani, menjadi karyawan, wirausaha, dan lain sebagainya.
Tawakal diartikan dengan sikap pasrah dan menyerahkan segala urusannya kepada Allah. Dalam bahasa Arab, tawakal berarti `mewakilkan', yaitu mewakilkan kepada Allah untuk menentukan berhasil atau tidaknya suatu urusan. Ajaran tawakal ini menanamkan kesan bahwa manusia hanya memiliki hak dan berusaha, sedangkan ketentuan terakhir tetap di tangan Allah swt. sehingga apabila usahanya berhasil, is tidak bersikap lupa diri dan apabila mengalami kegagalan, is tidak akan merasa putus asa. Pengertian seperti ini merupakan ajaran tawakal yang paling tepat.
Artinya: “Maka apa bila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya." (QS Ali Imran: 159)
Takdir, ikhtiar, dan tawakal adalah tiga hal yang sulit untuk dipisah-pisahkan. Dengan kemahakuasaan-Nya, Allah menciptakan undang-undang, peraturan, dan hukum yang tidak dapat diubah oleh siapa pun. Sementara itu, manusia diberi kebebasan untuk memilih dan diberi hak untuk bekerja dan berusaha demi mewujudkan pilihannya. Akan tetapi, setiap manusia tidak dapat dan tidak dibenarkan memaksakan kehendak kepada Allah untuk mewujudkan keinginannya.
Bertawakal bukan berarti bahwa seseorang hanya diam dan bertopang dagu tanpa bekerja. Orang yang sudah menentukan pilihan dan cita-citanya tanpa mau bekerja, hanya akan menjadi lamunan atau khayalan semata karena hal itu tidak akan pernah terlaksana. Firman Allah swt.
Artinya: “Dan bahwasanya seorang manusia tidak akan memperoleh selain apa yang telah diusahakannya." (QS An Najm: 39)
Dalam sebuah hadis yang panjang dan diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dikisahkan bahwa ketika Khalifah Umar bin Khattab ra. dan pasukannya akan masuk ke negeri Syam dan telah sampai di perbatasan, ada yang menyampaikan laporan bahwa di negeri Syam tersebut tengah terjangkit penyakit menular. Khalifah Umar bin Khattab ra. akhirnya memutuskan untuk membatalkan ke negeri Syam dan kembali pulang ke Madinah. Abu Baidah berkata pada Khalifah, "Mengapa Anda lari dari takdir Allah?" Khalifah Umar bin Khattab ra. menjawab, "Kami lari dari takdir untuk mengejar takdir pula." Maksud dari pernyataan `lari dari takdir menuju takdir' itu adalah bahwa mereka memilih meninggalkan takdir yang buruk menuju pada takdir yang lebih baik. Manusia yang telah diberi fitrah dan pengetahuan untuk dapat membedakan baik dan buruk pasti akan senantiasa mampu menaati segala kebaikan dan menjauhi keburukan.
Oleh karena itu, sebagai penghayatan terhadap keyakinan akan takdir, ikhtiar, dan tawakal, maka kewajiban kita memilih segala hal yang baik. Adapun ukuran mengenai baik dan buruknya adalah norma yang tercantum pada Al Quran dan hadis, senantiasa tekun, bersungguh-sungguh dalam bekerja sesuai kemampuan, bertawakal, berdoa, tidak sombong atau lupa diri dan bersyukur apabila berhasil serta tidak berputus asa apabila belum berhasil.

5.        Fungsi Iman kepada Qada dan Qadar datam kehidupan Sehari-­hari
Islam itu ajaran yang tinggi (mulia), bersifat universal, sangat sesuai dengan fitrah, suci, indah, sempurna, dan tidak ada ajaran lain yang mampu menandinginya. Salah satu pokok ajarannya ialah keimanan pada qada dan qadar. Setiap muslim dan muslimah wajib beriman bahwa ada qada dan qadar Allah yang beriaku untuk seluruh makhluk-Nya, balk takdir yang menguntungkan dirinya atau sesuai keinginannya maupun sebaliknya. Apa pun kenyataannya, kita harus yakin bahwa di balik setiap takdir yang terjadi pasti mengandung hikmah bagi manusia.
Di antara fungsi beriman pada qada dan qadar dalam kehidupan sehari-hari adalah sebagai berikut.
a.       Mempunyai semangat ikhtiar
Qada’ dan qadar Allah SWT tentang nasib manusia rahasia Allah SWT yang yang semata. Karna tidak tau nasibnya,maka manusi tidak boleh menunggu dengan pasrah. Manusia harus tau nasibnya. Bagaimana caranya? yaitu dengan mempajari dan dengan mempraktikkan hukum-hukum Allah SWT, yang telah diberikan kepada manusia.
Ikhtar artinya melakukan perbuatan yang baik dengan penuh kesungguhan dan keyakinan akan hasil yang baik bagi dirinya. Dengan pemahaman seperti itulah , seorang muri akan bekerja keras agar biasa sukses, pedagang akan hidup hemat agar usahanya berkembang, dan sebagainya.
 Allah SWT berfirman;




Artinya:“Dan bahwa manusia hanya meperoleh apa yang usahakannya.Dan sesungguhnya usahanya itu kelak akan diperlihatkan(kepadanya).’(Q.S.An-Najm,53:39-40)


b.      Mendorong Kemajuan dan Kemakmuran
Allah berfirman bahwa segala sesuatu yang diciptakan-Nya sudah diberi ukuran, takaran, sifat, dan undang-undang. Panas matahari tidak mampu membuat air mendidih, tetapi is sangat berguna bagi kesehatan manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan, selain sebagai alat penerang yang mengalahkan cahaya bulan dan lampu. Bumi, langit, dan isinya diciptakan untuk manusia sebagai khalifah. Dengan iman kepada takdir, hendaknya manusia man menyelidiki dan mempelajari alam sehingga mampu memanfaatkannya. Bagaimana mungkin manusia dapat memanfaatkan alam jika tidak mengetahui sifat, ukuran, sebab­akibat, atau sunatullah?
Bagaimana cara memanfaatkan sinar matahari, air terjun, racun, udara, gas, angin, bulu domba, bisa ular, dan lain sebagainya? Dengan yakin pada takdir, maka manusia dapat mempelajari suatu hukum yang pasti sehingga menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi kehidupan manusia.
c.       Menghindari Sifat Sombong
Dengan beriman kepada takdir, seseorang yang memperoleh sukses besar, meraih jabatan yang tinggi, menjadi penguasa, atau memiliki harta berlimpah, is tidak akan merasa sombong, melainkan semakin rendah hati karena menyadari bahwa sukses yang diperoleh bukan semata-mata hasil usahanya sendiri, kecuali sudah menjadi ketetapan Allah. Tanpa pertolongan dan ketetapan Allah seseorang tidak akan mampu memperoleh kesuksesan itu sehingga ketika mendapatkannya, is justru menjadi tawadu atau rendah hati menyadari akan kemudahan dan keagungan Allah swt. Firman Allah swt.

Artinya: “Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah datangnya dan bila kamu ditimpa kemudaratan, maka hanya kepada-Nyalah kamu meminta pertolongan." (QS An Nahl: 53)
d.      Melatih Berhusnuzan (Baik Sangka)
Iman kepada takdir mendidik manusia untuk berbaik sangka pada ketetapan Allah karena apa yang kita inginkan belum tentu berakibat baik, demikian pula sebaliknya.
e.      Melatih Kesabaran
Orang beriman pada qada dan qadar akan tetap tabah, sabar, dan tidak mengenal putus asa pada saat mengalami kegagalan karena menyadari bahwa semua sudah ditetapkan oleh Allah. Akan tetapi, bagi orang yang tidak beriman pada takdir, kegagalan mengakibatkan stres, putus asa, dan kegoncangan jiwa. Firman Allah swt.
Artinya: “Dan jangan kamu berputus asa dari rahmatAllah, sesungguhnya tidak putus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum kafir." (QS Yusuf: 87)
f.        Terhindar dari Sifat Ragu dan Penakut
Iman pada qada dan qadar akan menumbuhkan sifat pemberani. Semangat dan jiwa seseorang akan bangkit karena is tidak memiliki keraguan atau gentar sedikit pun untuk maju. Orang yang beriman itu meyakini bahwa apa pun yang bakal terjadi tidak akan menyimpang dari ketentuan atau takdir Allah. Sejarah Islam telah mencatat bahwa Khalid bin Walid pada setiap peperangan tampil gagah berani tanpa rasa takut sedikit pun. Akan tetapi, Allah tidak menetapkan bahwa ia wafat di medan perang. la senantiasa diselamatkan nyawanya dan selalu dilindungi oleh Allah sehingga ia dapat hidup hingga usia tua. Khalid bin Walid wafat di atas pembaringan meskipun terdapat lebih dari 500 bekas luka dalam peperangan.

6.       Ciri-ciri dari beriman kepada qadha dan qadhar

·         Qana’ah Dan Kemuliaan Diri.
Seseorang yang beriman kepada qadar mengetahui bahwa rizkinya telah tertuliskan, dan bahwa ia tidak akan meninggal sebelum ia menerima sepenuhnya,  juga bahwa rizki itu tidak akan dicapai oleh semangatnya orang yang sangat berhasrat dan tidak dapat dicegah oleh kedengkian orang yang dengki. Ia pun mengetahui bahwa seorang makhluk sebesar apa pun usahanya dalam memperoleh ataupun mencegahnya dari dirinya, maka ia tidak akan mampu, kecuali apa yang telah Allah tetapkan baginya.
Dari sini muncullah qana’ah terhadap apa yang telah diberikan, kemuliaan diri dan baiknya usaha, serta membebaskan diri dari penghambaan kepada makhluk dan mengharap pemberian mereka.
Hal tersebut tidak berarti bahwa jiwanya tidak berhasrat pada kemuliaan, tetapi yang dimaksudkan dengan qana’ah ialah, qana’ah pada hal-hal keduniaan setelah ia menempuh usaha, jauh dari kebakhilan, kerakusan, dan dari mengorbankan rasa malunya.
Apabila seorang hamba dikaruniai sikap qana’ah, maka akan bersinarlah cahaya kebahagiaan, tetapi apabila sebaliknya (apabila ia tidak memiliki sikap qana’ah), maka hidupnya akan keruh dan akan bertambah pula kepedihan dan kerugiannya, disebabkan oleh jiwanya yang tamak dan rakus. Seandainya jiwa itu bersikap qana’ah, maka sedikitlah musibahnya. Sebab orang yang tamak adalah orang yang terpenjara dalam keinginan dan sebagai tawanan nafsu syahwat.
Kemudian, bahwa qana’ah itu pun dapat menghimpun bagi pelakunya kemuliaan diri, menjaga wibawanya dalam pandangan dan hati, serta mengangkatnya dari tempat-tempat rendah dan hina, sehingga tetaplah kewibawaan, melimpahnya karamah, kedudukan yang tinggi, tenangnya bathin, selamat dari kehinaan, dan bebas dari perbudakan hawa nafsu dan keinginan yang rendah. Sehingga ia tidak mencari muka dan bermuka dua, ia pun tidak melakukan sesuatu kecuali hal itu dapat memenuhi (menambah) imannya, dan hanya kebenaranlah yang ia junjung.
Kesimpulannya, hal yang dapat memutuskan harapan kepada makhluk dari hati adalah ridha dengan pembagian Allah Azza wa Jalla (qana’ah). Barangsiapa ridha dengan hukum dan pembagian Allah, maka tidak akan ada tempat pada hatinya untuk berharap kepada makhluk.
Di antara kalimat yang indah berkenaan dengan hal ini adalah sya’ir yang dinisbatkan kepada Amirul Mukminin, ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu:
Qana’ah memberikan manfaat kepadaku berupa kemuliaan adakah kemuliaan yang lebih mulia dari qana’ah Jadikanlah ia sebagai modal bagi dirimu kemudian setelahnya, jadikanlah takwa sebagai barang dagangan. Niscaya akan engkau peroleh keuntungan dan tidak perlu memelas kepada orang yang bakhil Engkau akan memperoleh kenikmatan dalam Surga dengan kesabaran yang hanya sesaat.
Berkata Imam asy-Syafi’i rahimahullahu: Aku melihat qana’ah sebagai perbendaharaan kekayaan maka aku pegangi ekor-ekornya Tidak ada orang yang melihatku di depan pintunya dan tidak ada orang yang melihatku bersungguh-sungguh dengannya Aku menjadi kaya dengan tanpa dirham dan aku berlalu di hadapan manusia seperti raja. Tsa’alabi berkata, “Sebaik-baik ucapan yang saya dengar tentang qana’ah ialah ucapan.
Ibnu Thabathaba al-‘Alawi: Jadilah engkau orang yang qana’ah dengan apa yang diberikan kepadamu maka engkau telah berhasil melewati kesulitan qana’ah orang yang hidup berkecukupan Sesungguhnya usaha dalam mencapai angan, nyaris membinasakan
dan kebinasaan seseorang terletak dalam kemewahan.
·         Cita-Cita Yang Tinggi
Maksud dari cita-cita yang tinggi adalah menganggap kecil apa yang bukan akhir dari perkara-perkara yang mulia. Sedangkan cita-cita yang rendah, yaitu sebaliknya dari hal itu, ia lebih mengutamakan sesuatu yang tidak berguna, ridha dengan kehinaan, dan tidak menggapai perkara-perkara yang mulia. Iman kepada qadar membawa pelakunya kepada kemauan yang tinggi dan menjauhkan mereka dari kemalasan, berpangku tangan, dan pasrah kepada takdir.
Karena itu, Anda melihat orang yang beriman kepada qadar -dengan keimanan yang benar- adalah tinggi cita-citanya, besar jiwanya, mencari kesempurnaan, dan menjauhi perkara-perkara remeh dan hina. Ia tidak rela kehinaan untuk dirinya, tidak puas dengan keadaan yang pahit lagi menyakitkan, dan tidak pasrah terhadap berbagai aib dengan dalih bahwa takdir telah menentukannya. Bahkan keimanannya mengharuskannya untuk berusaha bang-kit, mengubah keadaan yang pahit serta menyakitkan kepada yang lebih baik dengan cara-cara yang disyari’atkan, dan untuk terbebas dari berbagai aib dan kekurangan. (Karena) berdalih dengan takdir hanyalah dibenarkan pada saat tertimpa musibah, bukan pada aib-aib (yang dilakukannya)
·         Bertekad Dan Bersungguh-Sungguh Dalam Berbagai Hal.
Orang yang beriman kepada qadar, ia akan bersungguh-sungguh dalam berbagai urusannya, memanfaatkan peluang yang datang kepadanya, dan sangat menginginkan segala kebaikan, baik akhirat maupun dunia. Sebab, iman kepada qadar mendorong kepada hal itu, dan sama sekali tidak mendorong kepada kemalasan dan sedikit beramal.
Bahkan, keimanan ini memiliki pengaruh yang besar dalam mendorong para tokoh untuk melakukan pekerjaan besar, yang mereka menduga sebelumnya bahwa kemampuan mereka dan berbagai faktor yang mereka miliki pada saat itu tidak cukup untuk menggapainya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Artinya ; …Bersungguh-sungguhlah terhadap apa yang bermanfaat bagimu, minta tolonglah kepada Allah, dan janganlah bersikap lemah! Jika sesuatu menimpamu, janganlah mengatakan, 'Seandainya aku melakukan, niscaya akan demikian dan demikian.' Tetapi katakanlah, 'Ini takdir Allah, dan apa yang dikehendaki-Nya pasti terjadi.
·         Bersikap Adil, Baik Pada Saat  Senang Maupun Susah.
Iman kepada qadar akan membawa kepada keadilan dalam segala keadaan, sebab manusia dalam kehidupan dunia ini mengalami keadaan bermacam-macam. Adakalanya diuji dengan kefakiran, adakalanya mendapatkan kekayaan yang melimpah, adakalanya menikmati kesehatan yang prima, adakalanya diuji dengan penyakit, adakalanya memperoleh jabatan dan popularitas, dan adakalanya setelah itu dipecat (dari jabatan), hina, dan kehilangan nama.
Perkara-perkara ini dan sejenisnya memiliki pengaruh dalam jiwa. Kefakiran dapat membawa kepada kehinaan, kekayaan bisa mengubah akhlak yang baik menjadi kesombongan, dan perilakunya menjadi semakin buruk.
Sakit bisa mengubah watak, sehingga akhlak menjadi tidak lurus, dan seseorang tidak mampu tabah bersamanya. Demikian pula kekuasaan dapat mengubah akhlak dan meng-ingkari sahabat karib, baik karena buruknya tabiat maupun sem-pitnya dada.
Sebaliknya dari hal itu ialah pemecatan. Adakalanya hal itu dapat memburukkan akhlak dan menyempitkan dada, baik karena kesedihan yang mendalam maupun karena kurangnya kesabaran.Begitulah, keadaan-keadaan tersebut menjadi tidak lurus pada garis keadilan, karena keterbatasan, kebodohan, kelemahan, dan kekurangan dalam diri hamba tersebut.
Kecuali orang yang beriman kepada qadar dengan sebenarnya, maka kenikmatan tidak membuatnya sombong dan musibah tidak membuatnya berputus asa, kekuasaan tidak membuatnya congkak, pemecatan tidak menurunkannya dalam kesedihan, kekayaan tidak membawanya kepada keburukan dan kesombongan, dan kefakiran pun tidak menurunkannya kepada kehinaan.
Orang-orang yang beriman kepada qadar menerima sesuatu yang menggembirakan dan menyenangkan dengan sikap menerima, bersyukur kepada Allah atasnya, dan menjadikannya sebagai sarana atas berbagai urusan akhirat dan dunia. Lalu, dengan melakukan hal tersebut, mereka mendapatkan, berbagai kebaikan dan keberkahan, yang semakin melipatgandakan kegembiraan mereka. Mereka menerima hal-hal yang tidak disenangi dengan keridhaan, mencari pahala, bersabar, menghadapi apa yang dapat mereka hadapi, meringankan apa yang dapat mereka ringankan, dan dengan kesabaran yang baik terhadap apa yang harus mereka bersabar terhadapnya. Sehingga mereka, dengan sebab itu, akan mendapatkan berbagai kebaikan yang besar yang dapat menghilangkan hal-hal yang tidak disukai, dan digantikan oleh kegembiraan dan harapan yang baik.
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz rahimahullahu berkata, “Aku memasuki waktu pagi, sedangkan kebahagiaan dan kesusahan sebagai dua kendaraan di depan pintuku, aku tidak peduli yang manakah di antara keduanya yang aku tunggangi.”
·         Selamat Dari Kedengkian Dan Penentangan
Iman kepada qadar dapat menyembuhkan banyak penyakit yang menjangkiti masyarakat, di mana penyakit itu telah menanamkan kedengkian di antara mereka, misalnya hasad yang hina. Orang yang beriman kepada qadar tidak dengki kepada manusia atas karunia yang Allah berikan kepada mereka, karena keimanan-nya bahwa Allah-lah yang memberi dan menentukan rizki mereka. Dia memberikan dan menghalangi dari siapa yang dikehendaki-Nya, sebagai ujian. Apabila dia dengki kepada selainnya, berarti dia me-nentang ketentuan Allah.
Jika seseorang beriman kepada qadar, maka dia akan selamat dari kedengkian, selamat dari penentangan terhadap hukum-hukum Allah yang bersifat syar’i (syari’at) dan ketentuan-ketentuan-Nya yang bersifat kauni (sunnatullah), serta menyerahkan segala urusannya kepada Allah semata

7.       Tanda –tanda orang yang beriman kepada qada dan qadar
Dengan beriman kepada qadha dan qadar, banyak hikmah yang amat berharga bagi kita dalam menjalani kehidupan dunia dan mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat. Hikmah tersebut antara lain:
a.       banyak bersyukur dan bersabar
Orang yang beriman kepada qadha dan qadar, apabila mendapat keberuntungan, maka ia akan bersyukur, karena keberuntungan itu merupakan nikmat Allah yang harus disyukuri. Sebaliknya apabila terkena musibah maka ia akan sabar, karena hal tersebut merupakan ujian.

Firman Allah:


Artinya:”dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah( datangnya), dan bila ditimpa oleh kemudratan, maka hanya kepada-Nya lah kamu meminta pertolongan. ”( QS. An-Nahl ayat 53).

b.      Menjauhkan diri dari sifat sombong dan putus asa
Orang yang tidak beriman kepada qadha dan qadar, apabila memperoleh keberhasilan, ia menganggap keberhasilan itu adalah semata-mata karena hasil usahanya sendiri. Ia pun merasa dirinya hebat. Apabila ia mengalami kegagalan, ia mudah berkeluh kesah dan berputus asa , karena ia menyadari bahwa kegagalan itu sebenarnya adalah ketentuan Allah.

Firman Allah SWT:

Artinya: Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir. (QS.Yusuf ayat 87)
Sabda Rasulullah: yang artinya” Tidak akan masuk sorga orang yang didalam hatinya ada sebiji sawi dari sifat kesombongan.”( HR. Muslim)

c.       Bersifat optimis dan giat bekerja
Manusia tidak mengetahui takdir apa yang terjadi pada dirinya. Semua orang tentu menginginkan bernasib baik dan beruntung. Keberuntungan itu tidak datang begitu saja, tetapi harus diusahakan. Oleh sebab itu, orang yang beriman kepada qadha dan qadar senantiasa optimis dan giat bekerja untuk meraih kebahagiaan dan keberhasilan itu.
Firaman Allah:

Artinya : Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS Al- Qashas ayat 77)

d.      Jiwanya Tenang
Orang yang beriman kepada qadha dan qadar senantiasa mengalami ketenangan jiwa dalam hidupnya, sebab ia selalu merasa senang dengan apa yang ditentukan Allah kepadanya. Jika beruntung atau berhasil, ia bersyukur. Jika terkena musibah atau gagal, ia bersabar dan berusaha lagi.
Artinya : Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang tenang lagi diridhai-Nya. Maka masuklah kedalam jamaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah kedalam sorga-Ku. (QS. Al-Fajr ayat 27-30)




Daftra Pustaka




Tidak ada komentar:

Posting Komentar