KATA
PENGANTAR
Segala puji bagi Allah tuhan semesta alam,
yang telah menganugerahkan keni’matan kepada semua hamba-Nya, mengaruniakan
atas jiwa mereka segala nur agama dan tugasnya memberi petunjuk kepada
hamba-Nya menuju kebaikan dan jalan yang benar.
Dalam makalah ini didalamnya membahas tentang
“Iman kepada qada dan qadar”. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah
sederhana ini masih jauh dari sempurna, baik dari materinya maupun susunan
bahasanya. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan berbagai kritik dan
saran dari manapun datangnya demi perbaikan dan penyempurnaan pada
makalah-makalah berikutnya.
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
dan menambah pengetahuan kita akan iman kepada qada dan qadar.
Bandung 2012
Penulis
DAFTRA
ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
PEMBAHASAN
1. Pengertian beriman kepada Qada’ dan Qadar
2. Dalil kebenaran adanya Qada
dan Qadar
3.
Hubungan antara Qadha dan Qadar
4.
Kaitan antara Takdir, Ikhtiar, dan Tawakal
5.
Fungsi Iman kepada Qada dan Qadar datam kehidupan
Sehari-hari
6. Ciri-ciri dari beriman kepada qadha dan qadhar
7. tanda-tanda orang yang Beriman kepada Qada dan qadar
DAFTAR
PUSTAKA
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
beriman kepada Qada’ dan Qadar
Iman
adalah keyakinan yang diyakini didalam hati, diucapkan dengan lisan, dan
dilaksanakan dengan amal perbuatan.
Qada menurut bahasa berarti hukum, perintah,
memberikan, menghendaki, dan menjadikan. Sedangkan qadar berarti batasan
atau menetapkan ukuran.
Secara etimologi, qada dapat diartikan sebagai pemutusan, perintah, dan
pemberitaan. Imam az-Zuhri berkata, “Qadha secara etimologi memiliki arti
yang banyak. Dan semua pengertian yang berkaitan dengan qadha kembali kepada
makna kesempurnaan….” (An-Nihayat fii Ghariib al-Hadits, Ibnu Al-Atsir).
Sedangkan qadar berasal dari kata qaddara, yuqaddiru, taqdiiran yang berarti
penentuan.
Dari sudut terminologi, qadha adalah pengetahuan yang lampau, yang telah
ditetapkan oleh Allah SWT pada zaman azali. Adapun qadar adalah terjadinya
suatu ciptaan yang sesuai dengan penetapan (qadha). Sedangkan arti
terminologis qada dan qadar menurut Ar-Ragib ialah :
”Qadar ialah menentukan batas (ukuran) sebuah rancangan; seperti besar dan
umur alam semesta, lamanya siang dan malam, anatomi dan fisiologi makhluk
nabati dan hewani, dan lain-lain; sedang qada ialah menetapkan rancangan tersebut.”
Atau secara sederhana, qada dapat diartikan sebagai ketetapan Allah yang
telah ditetapkan tetapi tidak kita ketahui. Sedangkan qadar ialah
ketetapan Allah yang telah terbukti dan diketahui sudah terjadi. Dapat
pula dikatakan bahwa qada adalah ketentuan atau ketetapan, sedangkan qadar
adalah ukuran. Dengan demikian yang dimaksud dengan qada dan qadar atau
takdir adalah ketentuan atau ketetapan Allah menurut ukuran atau norma
tertentu.
Firman Allah mengenai qada dan qadar terdapat dalam surat Al Ahzab ayat 36,
yaitu :
Arti : Dan tidakkah patut bagi laki-laki yang mumin dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mumin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu
ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan
barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat,
sesat yang nyata.
Selain itu, Allah juga berfirman dalam surat Al Qamar ayat 49, yakni :
Arti : Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.
Beriman kepada qada dan qadar berarti mengimani rukun-rukunnya. Iman
kepada qada dan qadar memiliki empat rukun, antara lain :
- Ilmu Allah SWT
Beriman kepada qada dan qadar berarti harus beriman
kepada Ilmu Allah yang merupakan deretan sifat-sifat-Nya sejak azali.
Allah mengetahui segala sesuatu. Tidak ada makhluk sekecil apa pun
di langit dan di bumi ini yang tidak Dia ketahui. Dia mengetahui seluruh
makhluk-Nya sebelum mereka diciptakan. Dia juga mengetahui kondisi dan hal-hal
yang sudah terjadi maupun yang akan terjadi di masa yang akan datang.
- Penulisan Takdir
Sebagai mukmin, kita harus percaya bahwa segala
sesuatu yang terjadi, baik di masa lampau, masa kini, maupun masa yang akan
datang, semuanya telah dicatat dalam Lauh Mahfuzh dan tidak ada sesuatu pun
yang terlupakan oleh-Nya.
- Masyi’atullah (Kehendak Allah) dan Qudrat (Kekuasaan Allah)
Seorang mukmin yang telah mengimani qada dan qadar
harus mengimani masyi`ah (kehendak Allah) dan kekuasaan-Nya yang menyeluruh.
Apapun yang Dia kehendaki pasti terjadi meskipun manusia tidak menginginkannya.
Begitu pula sebaliknya, apa pun yang tidak dikehendaki pasti tidak akan terjadi
meskipun manusia memohon dan menghendakinya. Hal ini bukan dikarenakan Allah
tidak mampu melainkan karena Allah tidak menghendakinya.
- Penciptaan Allah
Ketika beriman terhadap qada dan qadar, seorang mukmin
harus mengimani bahwa Allah-lah pencipta segala sesuatu, tidak ada Khaliq
selain-Nya dan tidak ada Rabb semesta alam ini selain Dia.
Inilah empat rukun beriman kepada qada dan qadar yang harus diyakini setiap
muslim. Maka, apabila salah satu di antara empat rukun ini diabaikan atau
didustakan, niscaya kita tidak akan pernah sampai kepada gerbang keimanan yang
sesungguhnya. Sebab, mendustakan rukun-rukun tersebut berarti merusak bangunan
iman terhadap qada dan qadar dan ketika bangunan iman itu rusak, maka hal
tersebut juga akan menimbulkan kerusakan pada bangunan tauhid itu sendiri.
2. Dalil kebenaran adanya Qada dan Qadar
Takdir terbagi menjadi dua bagian,yakninya:
a.
Taqdir Mu’allaq
Taqdir mu’allaq adalah taqdir Allah
swt yang masih dapat diusahakan kejadianya oleh manusia. Sebagai contoh dalam
kehidupan ini, kita sering melihat dan mengalami sunnahtullah, hukum Allah yang
berlaku di bumi ini, yaitu hukum sebab akibat yang bersifat tetap yang
merupakan qada dan qadar sesuai kehendak swt. Seperti, bumi brputar pada
porosnya 24 jam sehari; bersama bulan, bumi mengitari bumi kurang lebih 365
hari setahun; bulan mengitari bumi setahun {356 hari}; air kalau dipanaskan
pada suhu 100 celsius akan mendidih, dan kalau didinginkan pada suhu 0 celsius
akan menjadi es; matahari terbit disebelah timur dan teggelam disebelah barat; dan
banyak lagi contoh lainnya, kalau kita mau memikirkannya. Contohnya lagi semua
manusia pasti akan mati, seperti dalam firman Allah SWT :
Artinya: "tiap-tiap
yang bernyawa akan merasakan mati sesungguhnya pada hari kiamat sajalah
disempurnakan pahalamu." (QS Ali Imran: 185)
b. Taqdir Mubram
Taqdir mubram ialah taqdir yang pasti
terjadi dan tidak dpat dielakkan kejadiannya. Dapat kita beri contoh nasib
manusia, lahir, kematian, jodoh dan rizkinya, terjadinya kiamat. Dan
sebagainya.
Qada’qadar Allah swt yang berhubungan dengan nasib manusia adalah rasia Allah SWT. Hanya Allah swt yang mengetahuinya. Manusia diperintahkan mengetahui qada’dan qadarnya melalui usaha dan ikhtiar. Kapan manusia lahir, bagaimana ststusnya sosialnya, bagaimana rizkinya ,siapa anak istrinya,dan kapanya meninggalnya,adalah rahasia Allah SWT. Jalan hidup manusia seperti itusdudah ditetapkan sejak zaman azali yaitu masa sebelum terjadinya sesuatuatau massa yang tidak bermulaan. Tidak seorang pun yang mengetahui hal tersebut. Adapun yang pernah kita dengar peramal yang hebat, ketahuilah wahai saudara ku itu adalah kebohongan balaka. Kalaupun ada orang seperti itu maka amal ibadahnya tidak akan diterima. Bahkan para tukng ramal pun mendapat azab dengan siksaan yang pedih karena telah membohongi manusia dengan pura-pura mengetahui rahasia Allah SWT.
Qada’qadar Allah swt yang berhubungan dengan nasib manusia adalah rasia Allah SWT. Hanya Allah swt yang mengetahuinya. Manusia diperintahkan mengetahui qada’dan qadarnya melalui usaha dan ikhtiar. Kapan manusia lahir, bagaimana ststusnya sosialnya, bagaimana rizkinya ,siapa anak istrinya,dan kapanya meninggalnya,adalah rahasia Allah SWT. Jalan hidup manusia seperti itusdudah ditetapkan sejak zaman azali yaitu masa sebelum terjadinya sesuatuatau massa yang tidak bermulaan. Tidak seorang pun yang mengetahui hal tersebut. Adapun yang pernah kita dengar peramal yang hebat, ketahuilah wahai saudara ku itu adalah kebohongan balaka. Kalaupun ada orang seperti itu maka amal ibadahnya tidak akan diterima. Bahkan para tukng ramal pun mendapat azab dengan siksaan yang pedih karena telah membohongi manusia dengan pura-pura mengetahui rahasia Allah SWT.
Allah
swt berFirman:
Artiya: ”setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam kitab {lauh mahfuz} sebelum kami mewujudkannya. Sungguh yang demikian itu mudah bagi Allah.” {Q.S.Al-hadid,}
Artiya: ”setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam kitab {lauh mahfuz} sebelum kami mewujudkannya. Sungguh yang demikian itu mudah bagi Allah.” {Q.S.Al-hadid,}
Ayat diatas menjelaskan bahwa manusia
sebelum diciptakan, ALLAH SWT teriebih dahulu telah menentukan
ketetapan-ketetapanNya bagi manusia yang ditulis dilauh mahfuz
. Dengan menyakini qada dan qadarnya, lantas apakah kita hgarus pasrah begitu saja? Toh, semua nasib manusia dan perbuatan manusia telah datentukan oleh ALLAH SWT. Tapi siapakah yang mentaqdirkan manusia itu? Siapa yang tau bahwa kita-kita manjadi petani, pedagang, atau bahkan penjahat, siapa jodoh kita. Bagaimana rizki kita, dan lain sebagainya? Siapa yang tau kalau kita jadi petani, pedagang ataukah pejabat? Tidak ada seorang pun yang tau! Untuk itu alangkah naifnya kalau kit pasrah begitu saja. Pasrah berarti mernunggu taqdir, sedangkan taqdir itu tidak kita ketahui, oleh sebab itu, sikap hidup ialah mencari taqdir. Artinya berusaha dengan sekuat tenaga melalui berbagai cara yang ditunjukan Allah SWT. Untuk menentukan nasib kita sendiri. Itulah yang disebut dengan ikhtiar.
. Dengan menyakini qada dan qadarnya, lantas apakah kita hgarus pasrah begitu saja? Toh, semua nasib manusia dan perbuatan manusia telah datentukan oleh ALLAH SWT. Tapi siapakah yang mentaqdirkan manusia itu? Siapa yang tau bahwa kita-kita manjadi petani, pedagang, atau bahkan penjahat, siapa jodoh kita. Bagaimana rizki kita, dan lain sebagainya? Siapa yang tau kalau kita jadi petani, pedagang ataukah pejabat? Tidak ada seorang pun yang tau! Untuk itu alangkah naifnya kalau kit pasrah begitu saja. Pasrah berarti mernunggu taqdir, sedangkan taqdir itu tidak kita ketahui, oleh sebab itu, sikap hidup ialah mencari taqdir. Artinya berusaha dengan sekuat tenaga melalui berbagai cara yang ditunjukan Allah SWT. Untuk menentukan nasib kita sendiri. Itulah yang disebut dengan ikhtiar.
Allah SWT berfirman:
Artinya:“…….sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan mereka sendiri . Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tidak dapat yang menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia, :”{Q.S.ArRA’DU,13:11).
Jadi, jika manusia ingin nasibnya membaik, mereka harus merubahnya simaksimal mungkin ke yang lebih baik. Tampa usaha yang kuat Allah swt tidak akan mengubah tiba-tiba. Namun seandainya Allah SWT tetap menghendaki nasibnya tidak berubah, itu adalah hak Allah SWT.
3.
Hubungan antara Qadha
dan Qadar
Pada uraian tentang pengertian qadha dan qadar
dijelaskan bahwa antara qadha dan qadar selalu berhubungan erat . Qadha adalah
ketentuan, hukum atau rencana Allah sejak zaman azali. Qadar adalah kenyataan
dari ketentuan atau hukum Allah. Jadi hubungan antara qadha qadar ibarat
rencana dan perbuatan.
Perbuatan Allah berupa qadar-Nya selalu sesuai dengan
ketentuan-Nya. Di dalam surat Al-Hijr ayat 21 Allah berfirman, yang artinya
sebagai berikut:
Artinya ” Dan tidak sesuatupun melainkan disisi
kami-lah khazanahnya; dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang
tertentu.”
Orang kadang-kadang menggunakan istilah qadha dan
qadar dengan satu istilah, yaitu Qadar atau takdir. Jika ada orang terkena
musibah, lalu orang tersebut mengatakan, ”sudah takdir”, maksudnya qadha dan qadar.
4.
Kaitan antara Takdir, Ikhtiar, dan Tawakal
Takdir sebagaimana telah dijelaskan adalah takaran,
ukuran, ketetapan, peraturan, undang-undang yang diciptakan Allah tertulis di
Lauh Mahfuz sejak zaman azali dan berlaku bagi semua makhluk-Nya. Takdir ada
dua macam, yaitu takdir mubram dimana makhluk tidak diberi peluang atau
kesempatan untuk memilih dan mengubahnya, dan takdir muallaq dimana makhluk
diberi peluang atau kesempatan untuk memilih dan mengubahnya.
Ikhtiar adalah berusaha melakukan segala daya dan
upaya untuk mencapai sesuatu sesuai dengan yang dikehendaki. Menurut bahasa
Arab, ikhtiar berarti 'memilih'. Dua pengertian yang berbeda itu tetap
mempunyai hubungan yang erat dan merupakan mata rantai yang tidak dapat
dipisahkan. Sebagai contoh, setiap orang mempunyai kebebasan memilih untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Ada yang mencari nafkah dengan berdagang, bertani,
menjadi karyawan, wirausaha, dan lain sebagainya.
Tawakal diartikan dengan sikap pasrah dan menyerahkan
segala urusannya kepada Allah. Dalam bahasa Arab, tawakal berarti `mewakilkan',
yaitu mewakilkan kepada Allah untuk menentukan berhasil atau tidaknya suatu
urusan. Ajaran tawakal ini menanamkan kesan bahwa manusia hanya memiliki hak
dan berusaha, sedangkan ketentuan terakhir tetap di tangan Allah swt. sehingga
apabila usahanya berhasil, is tidak bersikap lupa diri dan apabila mengalami
kegagalan, is tidak akan merasa putus asa. Pengertian seperti ini merupakan
ajaran tawakal yang paling tepat.
Artinya: “Maka apa bila
kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah, sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya." (QS Ali Imran:
159)
Takdir, ikhtiar, dan tawakal adalah tiga hal yang
sulit untuk dipisah-pisahkan. Dengan kemahakuasaan-Nya, Allah menciptakan
undang-undang, peraturan, dan hukum yang tidak dapat diubah oleh siapa pun.
Sementara itu, manusia diberi kebebasan untuk memilih dan diberi hak untuk
bekerja dan berusaha demi mewujudkan pilihannya. Akan tetapi, setiap manusia
tidak dapat dan tidak dibenarkan memaksakan kehendak kepada Allah untuk
mewujudkan keinginannya.
Bertawakal bukan berarti bahwa seseorang hanya diam
dan bertopang dagu tanpa bekerja. Orang yang sudah menentukan pilihan dan
cita-citanya tanpa mau bekerja, hanya akan menjadi lamunan atau khayalan semata
karena hal itu tidak akan pernah terlaksana. Firman Allah swt.
Artinya: “Dan
bahwasanya seorang manusia tidak akan memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya." (QS An Najm: 39)
Dalam sebuah hadis yang panjang dan diriwayatkan oleh
Imam Bukhari dan Muslim dikisahkan bahwa ketika Khalifah Umar bin Khattab ra.
dan pasukannya akan masuk ke negeri Syam dan telah sampai di perbatasan, ada
yang menyampaikan laporan bahwa di negeri Syam tersebut tengah terjangkit
penyakit menular. Khalifah Umar bin Khattab ra. akhirnya memutuskan untuk
membatalkan ke negeri Syam dan kembali pulang ke Madinah. Abu Baidah berkata
pada Khalifah, "Mengapa Anda lari dari takdir Allah?" Khalifah Umar
bin Khattab ra. menjawab, "Kami lari dari takdir untuk mengejar takdir
pula." Maksud dari pernyataan `lari dari takdir menuju takdir' itu adalah
bahwa mereka memilih meninggalkan takdir yang buruk menuju pada takdir yang
lebih baik. Manusia yang telah diberi fitrah dan pengetahuan untuk dapat
membedakan baik dan buruk pasti akan senantiasa mampu menaati segala kebaikan
dan menjauhi keburukan.
Oleh karena itu, sebagai penghayatan terhadap
keyakinan akan takdir, ikhtiar, dan tawakal, maka kewajiban kita memilih segala
hal yang baik. Adapun ukuran mengenai baik dan buruknya adalah norma yang
tercantum pada Al Quran dan hadis, senantiasa tekun, bersungguh-sungguh dalam
bekerja sesuai kemampuan, bertawakal, berdoa, tidak sombong atau lupa diri dan
bersyukur apabila berhasil serta tidak berputus asa apabila belum berhasil.
5.
Fungsi Iman kepada Qada dan Qadar datam
kehidupan Sehari-hari
Islam itu ajaran yang tinggi (mulia), bersifat
universal, sangat sesuai dengan fitrah, suci, indah, sempurna, dan tidak ada
ajaran lain yang mampu menandinginya. Salah satu pokok ajarannya ialah keimanan
pada qada dan qadar. Setiap muslim dan muslimah wajib beriman bahwa ada qada
dan qadar Allah yang beriaku untuk seluruh makhluk-Nya, balk takdir yang
menguntungkan dirinya atau sesuai keinginannya maupun sebaliknya. Apa pun
kenyataannya, kita harus yakin bahwa di balik setiap takdir yang terjadi pasti
mengandung hikmah bagi manusia.
Di antara fungsi beriman pada qada dan qadar dalam
kehidupan sehari-hari adalah sebagai berikut.
a. Mempunyai semangat ikhtiar
Qada’ dan
qadar Allah SWT tentang nasib manusia rahasia Allah SWT yang yang semata. Karna
tidak tau nasibnya,maka manusi tidak boleh menunggu dengan pasrah. Manusia
harus tau nasibnya. Bagaimana caranya? yaitu dengan mempajari dan dengan mempraktikkan
hukum-hukum Allah SWT, yang telah diberikan kepada manusia.
Ikhtar artinya melakukan perbuatan yang baik dengan penuh kesungguhan dan keyakinan akan hasil yang baik bagi dirinya. Dengan pemahaman seperti itulah , seorang muri akan bekerja keras agar biasa sukses, pedagang akan hidup hemat agar usahanya berkembang, dan sebagainya.
Ikhtar artinya melakukan perbuatan yang baik dengan penuh kesungguhan dan keyakinan akan hasil yang baik bagi dirinya. Dengan pemahaman seperti itulah , seorang muri akan bekerja keras agar biasa sukses, pedagang akan hidup hemat agar usahanya berkembang, dan sebagainya.
Allah SWT berfirman;
Artinya:“Dan bahwa manusia hanya meperoleh apa yang usahakannya.Dan sesungguhnya usahanya itu kelak akan diperlihatkan(kepadanya).’(Q.S.An-Najm,53:39-40)
Artinya:“Dan bahwa manusia hanya meperoleh apa yang usahakannya.Dan sesungguhnya usahanya itu kelak akan diperlihatkan(kepadanya).’(Q.S.An-Najm,53:39-40)
b.
Mendorong Kemajuan dan Kemakmuran
Allah berfirman bahwa segala sesuatu yang
diciptakan-Nya sudah diberi ukuran, takaran, sifat, dan undang-undang. Panas
matahari tidak mampu membuat air mendidih, tetapi is sangat berguna bagi
kesehatan manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan, selain sebagai alat penerang
yang mengalahkan cahaya bulan dan lampu. Bumi, langit, dan isinya diciptakan
untuk manusia sebagai khalifah. Dengan iman kepada takdir, hendaknya manusia man
menyelidiki dan mempelajari alam sehingga mampu memanfaatkannya. Bagaimana
mungkin manusia dapat memanfaatkan alam jika tidak mengetahui sifat, ukuran,
sebabakibat, atau sunatullah?
Bagaimana cara memanfaatkan sinar matahari, air
terjun, racun, udara, gas, angin, bulu domba, bisa ular, dan lain sebagainya?
Dengan yakin pada takdir, maka manusia dapat mempelajari suatu hukum yang pasti
sehingga menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi kehidupan manusia.
c.
Menghindari Sifat Sombong
Dengan beriman kepada takdir, seseorang yang
memperoleh sukses besar, meraih jabatan yang tinggi, menjadi penguasa, atau
memiliki harta berlimpah, is tidak akan merasa sombong, melainkan semakin
rendah hati karena menyadari bahwa sukses yang diperoleh bukan semata-mata hasil
usahanya sendiri, kecuali sudah menjadi ketetapan Allah. Tanpa pertolongan dan
ketetapan Allah seseorang tidak akan mampu memperoleh kesuksesan itu sehingga
ketika mendapatkannya, is justru menjadi tawadu atau rendah hati menyadari akan
kemudahan dan keagungan Allah swt. Firman Allah swt.
Artinya: “Dan apa
saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah datangnya dan bila kamu ditimpa
kemudaratan, maka hanya kepada-Nyalah kamu meminta pertolongan." (QS
An Nahl: 53)
d.
Melatih Berhusnuzan (Baik Sangka)
Iman kepada takdir mendidik manusia untuk berbaik
sangka pada ketetapan Allah karena apa yang kita inginkan belum tentu berakibat
baik, demikian pula sebaliknya.
e.
Melatih Kesabaran
Orang beriman pada qada dan qadar akan tetap tabah,
sabar, dan tidak mengenal putus asa pada saat mengalami kegagalan karena
menyadari bahwa semua sudah ditetapkan oleh Allah. Akan tetapi, bagi orang yang
tidak beriman pada takdir, kegagalan mengakibatkan stres, putus asa, dan
kegoncangan jiwa. Firman Allah swt.
Artinya: “Dan
jangan kamu berputus asa dari rahmatAllah, sesungguhnya tidak putus asa dari
rahmat Allah, melainkan kaum kafir." (QS Yusuf: 87)
f.
Terhindar dari Sifat Ragu dan Penakut
Iman pada qada dan
qadar akan menumbuhkan sifat pemberani. Semangat dan jiwa seseorang akan bangkit
karena is tidak memiliki keraguan atau gentar sedikit pun untuk maju. Orang
yang beriman itu meyakini bahwa apa pun yang bakal terjadi tidak akan
menyimpang dari ketentuan atau takdir Allah. Sejarah Islam telah mencatat bahwa
Khalid bin Walid pada setiap peperangan tampil gagah berani tanpa rasa takut
sedikit pun. Akan tetapi, Allah tidak menetapkan bahwa ia wafat di medan perang. la senantiasa
diselamatkan nyawanya dan selalu dilindungi oleh Allah sehingga ia dapat hidup
hingga usia tua. Khalid bin Walid wafat di atas pembaringan meskipun terdapat
lebih dari 500 bekas luka dalam peperangan.
6.
Ciri-ciri
dari beriman kepada qadha dan qadhar
·
Qana’ah Dan Kemuliaan Diri.
Seseorang
yang beriman kepada qadar mengetahui bahwa rizkinya telah tertuliskan, dan
bahwa ia tidak akan meninggal sebelum ia menerima sepenuhnya, juga bahwa rizki itu tidak akan dicapai oleh
semangatnya orang yang sangat berhasrat dan tidak dapat dicegah oleh kedengkian
orang yang dengki. Ia pun mengetahui bahwa seorang makhluk sebesar apa pun
usahanya dalam memperoleh ataupun mencegahnya dari dirinya, maka ia tidak akan
mampu, kecuali apa yang telah Allah tetapkan baginya.
Dari sini muncullah qana’ah terhadap apa yang telah diberikan, kemuliaan diri dan baiknya usaha, serta membebaskan diri dari penghambaan kepada makhluk dan mengharap pemberian mereka.
Hal tersebut tidak berarti bahwa jiwanya tidak berhasrat pada kemuliaan, tetapi yang dimaksudkan dengan qana’ah ialah, qana’ah pada hal-hal keduniaan setelah ia menempuh usaha, jauh dari kebakhilan, kerakusan, dan dari mengorbankan rasa malunya.
Apabila seorang hamba dikaruniai sikap qana’ah, maka akan bersinarlah cahaya kebahagiaan, tetapi apabila sebaliknya (apabila ia tidak memiliki sikap qana’ah), maka hidupnya akan keruh dan akan bertambah pula kepedihan dan kerugiannya, disebabkan oleh jiwanya yang tamak dan rakus. Seandainya jiwa itu bersikap qana’ah, maka sedikitlah musibahnya. Sebab orang yang tamak adalah orang yang terpenjara dalam keinginan dan sebagai tawanan nafsu syahwat.
Kemudian, bahwa qana’ah itu pun dapat menghimpun bagi pelakunya kemuliaan diri, menjaga wibawanya dalam pandangan dan hati, serta mengangkatnya dari tempat-tempat rendah dan hina, sehingga tetaplah kewibawaan, melimpahnya karamah, kedudukan yang tinggi, tenangnya bathin, selamat dari kehinaan, dan bebas dari perbudakan hawa nafsu dan keinginan yang rendah. Sehingga ia tidak mencari muka dan bermuka dua, ia pun tidak melakukan sesuatu kecuali hal itu dapat memenuhi (menambah) imannya, dan hanya kebenaranlah yang ia junjung.
Kesimpulannya, hal yang dapat memutuskan harapan kepada makhluk dari hati adalah ridha dengan pembagian Allah Azza wa Jalla (qana’ah). Barangsiapa ridha dengan hukum dan pembagian Allah, maka tidak akan ada tempat pada hatinya untuk berharap kepada makhluk.
Di antara kalimat yang indah berkenaan dengan hal ini adalah sya’ir yang dinisbatkan kepada Amirul Mukminin, ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu:
Qana’ah memberikan manfaat kepadaku berupa kemuliaan adakah kemuliaan yang lebih mulia dari qana’ah Jadikanlah ia sebagai modal bagi dirimu kemudian setelahnya, jadikanlah takwa sebagai barang dagangan. Niscaya akan engkau peroleh keuntungan dan tidak perlu memelas kepada orang yang bakhil Engkau akan memperoleh kenikmatan dalam Surga dengan kesabaran yang hanya sesaat.
Berkata Imam asy-Syafi’i rahimahullahu: Aku melihat qana’ah sebagai perbendaharaan kekayaan maka aku pegangi ekor-ekornya Tidak ada orang yang melihatku di depan pintunya dan tidak ada orang yang melihatku bersungguh-sungguh dengannya Aku menjadi kaya dengan tanpa dirham dan aku berlalu di hadapan manusia seperti raja. Tsa’alabi berkata, “Sebaik-baik ucapan yang saya dengar tentang qana’ah ialah ucapan.
Ibnu Thabathaba al-‘Alawi: Jadilah engkau orang yang qana’ah dengan apa yang diberikan kepadamu maka engkau telah berhasil melewati kesulitan qana’ah orang yang hidup berkecukupan Sesungguhnya usaha dalam mencapai angan, nyaris membinasakan
dan kebinasaan seseorang terletak dalam kemewahan.
Dari sini muncullah qana’ah terhadap apa yang telah diberikan, kemuliaan diri dan baiknya usaha, serta membebaskan diri dari penghambaan kepada makhluk dan mengharap pemberian mereka.
Hal tersebut tidak berarti bahwa jiwanya tidak berhasrat pada kemuliaan, tetapi yang dimaksudkan dengan qana’ah ialah, qana’ah pada hal-hal keduniaan setelah ia menempuh usaha, jauh dari kebakhilan, kerakusan, dan dari mengorbankan rasa malunya.
Apabila seorang hamba dikaruniai sikap qana’ah, maka akan bersinarlah cahaya kebahagiaan, tetapi apabila sebaliknya (apabila ia tidak memiliki sikap qana’ah), maka hidupnya akan keruh dan akan bertambah pula kepedihan dan kerugiannya, disebabkan oleh jiwanya yang tamak dan rakus. Seandainya jiwa itu bersikap qana’ah, maka sedikitlah musibahnya. Sebab orang yang tamak adalah orang yang terpenjara dalam keinginan dan sebagai tawanan nafsu syahwat.
Kemudian, bahwa qana’ah itu pun dapat menghimpun bagi pelakunya kemuliaan diri, menjaga wibawanya dalam pandangan dan hati, serta mengangkatnya dari tempat-tempat rendah dan hina, sehingga tetaplah kewibawaan, melimpahnya karamah, kedudukan yang tinggi, tenangnya bathin, selamat dari kehinaan, dan bebas dari perbudakan hawa nafsu dan keinginan yang rendah. Sehingga ia tidak mencari muka dan bermuka dua, ia pun tidak melakukan sesuatu kecuali hal itu dapat memenuhi (menambah) imannya, dan hanya kebenaranlah yang ia junjung.
Kesimpulannya, hal yang dapat memutuskan harapan kepada makhluk dari hati adalah ridha dengan pembagian Allah Azza wa Jalla (qana’ah). Barangsiapa ridha dengan hukum dan pembagian Allah, maka tidak akan ada tempat pada hatinya untuk berharap kepada makhluk.
Di antara kalimat yang indah berkenaan dengan hal ini adalah sya’ir yang dinisbatkan kepada Amirul Mukminin, ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu:
Qana’ah memberikan manfaat kepadaku berupa kemuliaan adakah kemuliaan yang lebih mulia dari qana’ah Jadikanlah ia sebagai modal bagi dirimu kemudian setelahnya, jadikanlah takwa sebagai barang dagangan. Niscaya akan engkau peroleh keuntungan dan tidak perlu memelas kepada orang yang bakhil Engkau akan memperoleh kenikmatan dalam Surga dengan kesabaran yang hanya sesaat.
Berkata Imam asy-Syafi’i rahimahullahu: Aku melihat qana’ah sebagai perbendaharaan kekayaan maka aku pegangi ekor-ekornya Tidak ada orang yang melihatku di depan pintunya dan tidak ada orang yang melihatku bersungguh-sungguh dengannya Aku menjadi kaya dengan tanpa dirham dan aku berlalu di hadapan manusia seperti raja. Tsa’alabi berkata, “Sebaik-baik ucapan yang saya dengar tentang qana’ah ialah ucapan.
Ibnu Thabathaba al-‘Alawi: Jadilah engkau orang yang qana’ah dengan apa yang diberikan kepadamu maka engkau telah berhasil melewati kesulitan qana’ah orang yang hidup berkecukupan Sesungguhnya usaha dalam mencapai angan, nyaris membinasakan
dan kebinasaan seseorang terletak dalam kemewahan.
·
Cita-Cita Yang Tinggi
Maksud
dari cita-cita yang tinggi adalah menganggap kecil apa yang bukan akhir dari
perkara-perkara yang mulia. Sedangkan cita-cita yang rendah, yaitu sebaliknya
dari hal itu, ia lebih mengutamakan sesuatu yang tidak berguna, ridha dengan
kehinaan, dan tidak menggapai perkara-perkara yang mulia. Iman kepada qadar
membawa pelakunya kepada kemauan yang tinggi dan menjauhkan mereka dari
kemalasan, berpangku tangan, dan pasrah kepada takdir.
Karena itu, Anda melihat orang yang beriman kepada qadar -dengan keimanan yang benar- adalah tinggi cita-citanya, besar jiwanya, mencari kesempurnaan, dan menjauhi perkara-perkara remeh dan hina. Ia tidak rela kehinaan untuk dirinya, tidak puas dengan keadaan yang pahit lagi menyakitkan, dan tidak pasrah terhadap berbagai aib dengan dalih bahwa takdir telah menentukannya. Bahkan keimanannya mengharuskannya untuk berusaha bang-kit, mengubah keadaan yang pahit serta menyakitkan kepada yang lebih baik dengan cara-cara yang disyari’atkan, dan untuk terbebas dari berbagai aib dan kekurangan. (Karena) berdalih dengan takdir hanyalah dibenarkan pada saat tertimpa musibah, bukan pada aib-aib (yang dilakukannya)
Karena itu, Anda melihat orang yang beriman kepada qadar -dengan keimanan yang benar- adalah tinggi cita-citanya, besar jiwanya, mencari kesempurnaan, dan menjauhi perkara-perkara remeh dan hina. Ia tidak rela kehinaan untuk dirinya, tidak puas dengan keadaan yang pahit lagi menyakitkan, dan tidak pasrah terhadap berbagai aib dengan dalih bahwa takdir telah menentukannya. Bahkan keimanannya mengharuskannya untuk berusaha bang-kit, mengubah keadaan yang pahit serta menyakitkan kepada yang lebih baik dengan cara-cara yang disyari’atkan, dan untuk terbebas dari berbagai aib dan kekurangan. (Karena) berdalih dengan takdir hanyalah dibenarkan pada saat tertimpa musibah, bukan pada aib-aib (yang dilakukannya)
·
Bertekad Dan Bersungguh-Sungguh Dalam
Berbagai Hal.
Orang
yang beriman kepada qadar, ia akan bersungguh-sungguh dalam berbagai urusannya,
memanfaatkan peluang yang datang kepadanya, dan sangat menginginkan segala
kebaikan, baik akhirat maupun dunia. Sebab, iman kepada qadar mendorong kepada
hal itu, dan sama sekali tidak mendorong kepada kemalasan dan sedikit beramal.
Bahkan, keimanan ini memiliki pengaruh yang besar dalam mendorong para tokoh untuk melakukan pekerjaan besar, yang mereka menduga sebelumnya bahwa kemampuan mereka dan berbagai faktor yang mereka miliki pada saat itu tidak cukup untuk menggapainya.
Bahkan, keimanan ini memiliki pengaruh yang besar dalam mendorong para tokoh untuk melakukan pekerjaan besar, yang mereka menduga sebelumnya bahwa kemampuan mereka dan berbagai faktor yang mereka miliki pada saat itu tidak cukup untuk menggapainya.
Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
“Artinya ; …Bersungguh-sungguhlah terhadap apa yang bermanfaat bagimu, minta tolonglah kepada Allah, dan janganlah bersikap lemah! Jika sesuatu menimpamu, janganlah mengatakan, 'Seandainya aku melakukan, niscaya akan demikian dan demikian.' Tetapi katakanlah, 'Ini takdir Allah, dan apa yang dikehendaki-Nya pasti terjadi.
·
Bersikap Adil, Baik Pada Saat Senang Maupun Susah.
Iman
kepada qadar akan membawa kepada keadilan dalam segala keadaan, sebab manusia
dalam kehidupan dunia ini mengalami keadaan bermacam-macam. Adakalanya diuji
dengan kefakiran, adakalanya mendapatkan kekayaan yang melimpah, adakalanya
menikmati kesehatan yang prima, adakalanya diuji dengan penyakit, adakalanya
memperoleh jabatan dan popularitas, dan adakalanya setelah itu dipecat (dari
jabatan), hina, dan kehilangan nama.
Perkara-perkara ini dan sejenisnya memiliki pengaruh dalam jiwa. Kefakiran dapat membawa kepada kehinaan, kekayaan bisa mengubah akhlak yang baik menjadi kesombongan, dan perilakunya menjadi semakin buruk.
Sakit bisa mengubah watak, sehingga akhlak menjadi tidak lurus, dan seseorang tidak mampu tabah bersamanya. Demikian pula kekuasaan dapat mengubah akhlak dan meng-ingkari sahabat karib, baik karena buruknya tabiat maupun sem-pitnya dada.
Sebaliknya dari hal itu ialah pemecatan. Adakalanya hal itu dapat memburukkan akhlak dan menyempitkan dada, baik karena kesedihan yang mendalam maupun karena kurangnya kesabaran.Begitulah, keadaan-keadaan tersebut menjadi tidak lurus pada garis keadilan, karena keterbatasan, kebodohan, kelemahan, dan kekurangan dalam diri hamba tersebut.
Kecuali orang yang beriman kepada qadar dengan sebenarnya, maka kenikmatan tidak membuatnya sombong dan musibah tidak membuatnya berputus asa, kekuasaan tidak membuatnya congkak, pemecatan tidak menurunkannya dalam kesedihan, kekayaan tidak membawanya kepada keburukan dan kesombongan, dan kefakiran pun tidak menurunkannya kepada kehinaan.
Orang-orang yang beriman kepada qadar menerima sesuatu yang menggembirakan dan menyenangkan dengan sikap menerima, bersyukur kepada Allah atasnya, dan menjadikannya sebagai sarana atas berbagai urusan akhirat dan dunia. Lalu, dengan melakukan hal tersebut, mereka mendapatkan, berbagai kebaikan dan keberkahan, yang semakin melipatgandakan kegembiraan mereka. Mereka menerima hal-hal yang tidak disenangi dengan keridhaan, mencari pahala, bersabar, menghadapi apa yang dapat mereka hadapi, meringankan apa yang dapat mereka ringankan, dan dengan kesabaran yang baik terhadap apa yang harus mereka bersabar terhadapnya. Sehingga mereka, dengan sebab itu, akan mendapatkan berbagai kebaikan yang besar yang dapat menghilangkan hal-hal yang tidak disukai, dan digantikan oleh kegembiraan dan harapan yang baik.
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz rahimahullahu berkata, “Aku memasuki waktu pagi, sedangkan kebahagiaan dan kesusahan sebagai dua kendaraan di depan pintuku, aku tidak peduli yang manakah di antara keduanya yang aku tunggangi.”
Perkara-perkara ini dan sejenisnya memiliki pengaruh dalam jiwa. Kefakiran dapat membawa kepada kehinaan, kekayaan bisa mengubah akhlak yang baik menjadi kesombongan, dan perilakunya menjadi semakin buruk.
Sakit bisa mengubah watak, sehingga akhlak menjadi tidak lurus, dan seseorang tidak mampu tabah bersamanya. Demikian pula kekuasaan dapat mengubah akhlak dan meng-ingkari sahabat karib, baik karena buruknya tabiat maupun sem-pitnya dada.
Sebaliknya dari hal itu ialah pemecatan. Adakalanya hal itu dapat memburukkan akhlak dan menyempitkan dada, baik karena kesedihan yang mendalam maupun karena kurangnya kesabaran.Begitulah, keadaan-keadaan tersebut menjadi tidak lurus pada garis keadilan, karena keterbatasan, kebodohan, kelemahan, dan kekurangan dalam diri hamba tersebut.
Kecuali orang yang beriman kepada qadar dengan sebenarnya, maka kenikmatan tidak membuatnya sombong dan musibah tidak membuatnya berputus asa, kekuasaan tidak membuatnya congkak, pemecatan tidak menurunkannya dalam kesedihan, kekayaan tidak membawanya kepada keburukan dan kesombongan, dan kefakiran pun tidak menurunkannya kepada kehinaan.
Orang-orang yang beriman kepada qadar menerima sesuatu yang menggembirakan dan menyenangkan dengan sikap menerima, bersyukur kepada Allah atasnya, dan menjadikannya sebagai sarana atas berbagai urusan akhirat dan dunia. Lalu, dengan melakukan hal tersebut, mereka mendapatkan, berbagai kebaikan dan keberkahan, yang semakin melipatgandakan kegembiraan mereka. Mereka menerima hal-hal yang tidak disenangi dengan keridhaan, mencari pahala, bersabar, menghadapi apa yang dapat mereka hadapi, meringankan apa yang dapat mereka ringankan, dan dengan kesabaran yang baik terhadap apa yang harus mereka bersabar terhadapnya. Sehingga mereka, dengan sebab itu, akan mendapatkan berbagai kebaikan yang besar yang dapat menghilangkan hal-hal yang tidak disukai, dan digantikan oleh kegembiraan dan harapan yang baik.
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz rahimahullahu berkata, “Aku memasuki waktu pagi, sedangkan kebahagiaan dan kesusahan sebagai dua kendaraan di depan pintuku, aku tidak peduli yang manakah di antara keduanya yang aku tunggangi.”
·
Selamat Dari Kedengkian Dan
Penentangan
Iman
kepada qadar dapat menyembuhkan banyak penyakit yang menjangkiti masyarakat, di
mana penyakit itu telah menanamkan kedengkian di antara mereka, misalnya hasad
yang hina. Orang yang beriman kepada qadar tidak dengki kepada manusia atas
karunia yang Allah berikan kepada mereka, karena keimanan-nya bahwa Allah-lah
yang memberi dan menentukan rizki mereka. Dia memberikan dan menghalangi dari
siapa yang dikehendaki-Nya, sebagai ujian. Apabila dia dengki kepada selainnya,
berarti dia me-nentang ketentuan Allah.
Jika seseorang beriman kepada qadar, maka dia akan selamat dari kedengkian, selamat dari penentangan terhadap hukum-hukum Allah yang bersifat syar’i (syari’at) dan ketentuan-ketentuan-Nya yang bersifat kauni (sunnatullah), serta menyerahkan segala urusannya kepada Allah semata
Jika seseorang beriman kepada qadar, maka dia akan selamat dari kedengkian, selamat dari penentangan terhadap hukum-hukum Allah yang bersifat syar’i (syari’at) dan ketentuan-ketentuan-Nya yang bersifat kauni (sunnatullah), serta menyerahkan segala urusannya kepada Allah semata
7.
Tanda
–tanda orang yang beriman kepada qada dan qadar
Dengan
beriman kepada qadha dan qadar, banyak hikmah yang amat berharga bagi kita
dalam menjalani kehidupan dunia dan mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat.
Hikmah tersebut antara lain:
a.
banyak bersyukur dan bersabar
Orang
yang beriman kepada qadha dan qadar, apabila mendapat keberuntungan, maka ia
akan bersyukur, karena keberuntungan itu merupakan nikmat Allah yang harus
disyukuri. Sebaliknya apabila terkena musibah maka ia akan sabar, karena hal
tersebut merupakan ujian.
Firman Allah:
Artinya:”dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah( datangnya), dan bila ditimpa oleh kemudratan, maka hanya kepada-Nya lah kamu meminta pertolongan. ”( QS. An-Nahl ayat 53).
b.
Menjauhkan diri dari sifat sombong dan
putus asa
Orang
yang tidak beriman kepada qadha dan qadar, apabila memperoleh keberhasilan, ia
menganggap keberhasilan itu adalah semata-mata karena hasil usahanya sendiri.
Ia pun merasa dirinya hebat. Apabila ia mengalami kegagalan, ia mudah berkeluh
kesah dan berputus asa , karena ia menyadari bahwa kegagalan itu sebenarnya
adalah ketentuan Allah.
Firman Allah SWT:
Artinya: Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir. (QS.Yusuf ayat 87)
Sabda Rasulullah: yang artinya” Tidak akan masuk sorga orang yang didalam hatinya ada sebiji sawi dari sifat kesombongan.”( HR. Muslim)
c.
Bersifat optimis dan giat bekerja
Manusia
tidak mengetahui takdir apa yang terjadi pada dirinya. Semua orang tentu
menginginkan bernasib baik dan beruntung. Keberuntungan itu tidak datang begitu
saja, tetapi harus diusahakan. Oleh sebab itu, orang yang beriman kepada qadha
dan qadar senantiasa optimis dan giat bekerja untuk meraih kebahagiaan dan
keberhasilan itu.
Firaman Allah:
Firaman Allah:
Artinya : Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS Al- Qashas ayat 77)
d.
Jiwanya Tenang
Orang yang
beriman kepada qadha dan qadar senantiasa mengalami ketenangan jiwa dalam
hidupnya, sebab ia selalu merasa senang dengan apa yang ditentukan Allah
kepadanya. Jika beruntung atau berhasil, ia bersyukur. Jika terkena musibah
atau gagal, ia bersabar dan berusaha lagi.
Artinya : Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang tenang lagi diridhai-Nya. Maka masuklah kedalam jamaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah kedalam sorga-Ku. (QS. Al-Fajr ayat 27-30)
Artinya : Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang tenang lagi diridhai-Nya. Maka masuklah kedalam jamaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah kedalam sorga-Ku. (QS. Al-Fajr ayat 27-30)
Daftra Pustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar