Hadits
Sebagai Sumber Ajaran Islam
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah hadits semester genap
KATA
PENGANTAR
Segala puji bagi
Allah tuhan semesta alam, yang telah menganugerahkan keni’matan kepada semua
hamba-Nya, mengaruniakan atas jiwa mereka segala nur agama dan tugasnya memberi
petunjuk kepada hamba-Nya menuju kebaikan dan jalan yang benar.
Dalam makalah ini
didalamnya membahas tentang “hadits sebagai sumber ajaran islam”. Makalah ini
menerangkan tentang .
Penulis menyadari
sepenuhnya bahwa makalah sederhana ini masih jauh dari sempurna, baik dari
materinya maupun susunan bahasanya. Oleh karena itu, penulis sangat
mengharapkan berbagai kritik dan saran dari manapun datangnya demi perbaikan
dan penyempurnaan pada penelitian-penelitian ilmiah berikutnya.
Semoga makalah
ini dapat memberikan manfaat dan menambah pengetahuan kita akan kegunaan hadits
dan sumber ajaran islam.
Bandung, 04 Maret 2012
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
Latar Belakang
BAB II
A. Pengertian Hadits Sebagai Sumber
Ajaran Islam
B. Alasan
Hadits Dijadikan Sumber Hukum Agama
C. Fungsi Hadist Terhadap Al-Quran
BAB III
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
LATAR BELAKANG
Islam sebagai
agama fitrah yang berasal dari Allah SWT yang dibawakan oleh nabi besar
Muhammad SAW merupakan agama samawi terakhir yang berlaku hingga akhir zaman. Agama islam merupakan satu-satunya agama samawi
yang diridhoi oleh Allah SWT. Berkenaan dengan ini, islam memiliki
sumber-sumber ajaran baik yang berasal dari firman Allah yakni kitab suci
Al-Qur’an dan sabda Rosulullah SAW yang tertuang dalam hadits-haditsnya. Selain
itu dengan berkembangnya zaman, dalam agama islam juga dikenal sumber hukum yang
ketiga yakni Ijtihad yang merupakan suatu usaha untuk memutuskan suatu perkara
yang tidak dibahas dalam Al-Quran maupun hadits dengan syarat menggunakan akal
sehat dan pertimbangan matang, serta hasil ijtihad tidak boleh bertentangan
dengan Al-Quran maupun hadits nabi. Pada makalah ini tidak akan dibahas
mengenai Al-Quran tetapi yang dibahas kali ini adalah Al-Hadits.
A. Pengertian Hadits Sebagai Sumber
Ajaran Islam
Sebagaimana kita ketahui sumber ajaran agama yang pertama adalah Al-quran,
kemudian hadits, ijma dan qiyas. Al-quran merupakan sumber ajaran yang pertama
dan utama. Kemudian sumber yang kedua adalah hadits. Ijma dan qiyas merupakan
sumber yang berasal dari ijtihad para ulama mengenai hal yang belum jelas dalam
al-quran dan hadits.
Hadits adalah bentuk jamaknya hidats, hudatsa. Hadits menurut bahasa
mempunyai beberapa arti yaitu :
1) Baru atau
muda (jadid), lawan dari terdahulu (qadim)
2) Dekat(qarib), tidak lama lagi
terjadi, lawan dari jauh(ba’id)
3) Warta (khabar),
berita yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada
orang lain. Hadits yang bermakna khabar ini dihubungkan dengan kata hadits yang
berarti riwayat, ikhbar (menggambarkan)
Kedudukan Hadis dari segi statusnya sebagai dalil dan
sumber ajaran agama Islam, menurut jumhur ulama, adalah menempati posisi
kedua setelah Al-Quran, hal tersebut, terutama ditinjau dari segi wurud
dan tsubut –nya al-quran adalah bersifat qath'i, sedangkan
Hadis, kecuali yang berstatus mutawatir, sifatnya adalah dzanni
al-wurud dan Hadis yang bersifat Qath'I didahulukan
dari hadis yang zhanni.
Untuk lebih jelasnya,berikut ini akan diuraikan
argumen yang dikemukakan para Ulama tentang posisi tersebut .
a.
Al-Quran keberadaannya yang pas dengan sifatnya yang qoth'I al-wurud (keberadannya
yang pasti diyakini), baik secara ayat per ayat maupun secara keseluruhan,
sudah seharusnyalah kedudukannya lebih tinggi daripada hadis yang statusnya
secara hadis per hadis, kecuali yang berstatus Mutawatir, adalah
bersifat zhanni al-wurud.
b.
Hadis berfungsi sebagai penjelas dan penjabar (Bayan) terhadap Al-Quran,
hal ini menunjukkan Al-Quran sebagai Al-Mubayyan lebih tinggi daripada
penjelasan (bayan) yaitu hadits.
c.
Sikap para sahabat yang selalu merujuk kepada Al-Quran terlebih dahulu kemudian
jika didalam Al-Quran tidak dijumpai keterangannya, barulah mereka merujuk
kepada hadits yang mereka ketahui, atau menanyakan hadis kepada sahabat yang
lain.
B. Alasan
Hadits Dijadikan Sumber Hukum Agama
Kedudukan hadits sebagai salah satu sumber ajaran Islam telah disepakati
oleh hampir seluruh ulama dan umat Islam. Dikatakan demikian, karena dalam
sejararah umat Islam (dari dulu sampai sekarang) ada kalangan yang hanya
berpegang pada al-qur’an dalam menjalankan ajaran agamanya.
Seluruh umat Islam, baik yang ahli naql maupun ahli aql telah sepakat
bahwa hadits atau sunah merupakan dasar hukum Islam yaitu salah satu dari
sumber hukum Islam dan juga sepakat tentang diwajibkanya untuk mengikuti hadits
sebagaimana diwajibkan mengikuti Al-quran.
Dalam kaitannya dengan masalah ini, Muhammad Ajjaj Al-khatib mengatakan:
فَاْلقُرْأَنُ وَالسُّنَةُ مَصْدَرَانِ تَشْرِيْهِيَانِ مُتَلاً زَمَانِ لاَ يَمْكِنُ لِمُسْلِمِ أَنْ يَفْهَمَ الشَرِيْعَةَ الاَّ بِالرُّجُوْعِ اِلَيْهِمَا مَعًا وَلاَ غِنَى لِمُجْهد عالم
Artinya:“Al-quran
dan As-sunah (Al-hadits) merupakan dua sumber hukum syariat islam yang tepat.
Sehingga umat islam tidak mungkin mampu memahami syariat islam, tanpa kembali
kepada kedua sumber islam tersebut. Mujtahid da orang alim pun tidak
diperbolehkan hanya mencukupkan diri dengan salah satu dari keduanya.
Al-quran dan hadits merupakan sumber hukum syariat Islam yang tetap, yang
orang Islam tidak mungkin memahami syariat Islam secara mendalam dan lengkap
dengan tanpa kembali kepada sumber Islam tersebut. Seorang mujtahid dan seorang
alimpun tidak diperbolehkan hanya mencakupkan diri dengan salah satu dari
keduanya. Banyak ayat al-quran dan hadits yang memberikan pengertian bahwa
hadits itu merupakan sumber hukum Islam selain al-quran yang wajib diikuti,
baik dalam bentuk perintah maupun larangannya. Uraian dibawah ini merupakan
paparan tentang alasan hadits dijadikan sebagai sumber hukum Islam dengan
melihat beberapa dalil, baik naqli maupun aqli.
a). Dalil Al-Qur’an
Banyak ayat
Al-Qur’an yang menerangkan tentang kewajiban untuk tetap teguh beriman kepada
Allah SWT dan Rasul-Nya. Iman kepada Rasul SAW sebagai utusan Allah SWT,
merupakan satu keharusan dan sekaligus kebutuhan setiap individu.
Selain Allah
memerintahkan umat islam agar percaya kepada Rasul SAW, juga menyerukan agar
mentaati segala bentuk perumdang-undangan dan peraturan yang dibawanya, baik
berupa perintah maupun larangan. Tuntutan taat dan patuh kepada Allah SWT. Banyak ayat Al-Qur’an yang
berkenaan dengan masalah ini.
o Firman
Allah dalam surat Ali ‘Imran ayat 32 :
قُلْ أَطِيعُوا اللهَ وَالرَّسُولَ فَإِن تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْكَافِرِين
“Katakanlah!
Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang kafir.”
·
Dalam surat An-Nisa’ ayat 59 Allah juga berfirman :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرُُ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
“Hai
orang-orang yang beriman! Taatilah Allah, Rasul, dan Ulil Amri di antara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalilah kepada
Allah dan Rasul, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.
Dari beberapa ayat Al-Qur’an di atas dapat ditarik suatu pemahaman, bahwa
ketaatan kepada Rasul SAW adalah mutlak, sebagaimana ketaatan kepada Allah.
Begitu pula halnya dengan ancaman atau peringatannya bagi yang durhaka; ancaman
Allah SWT sering disejajarkan dengan ancaman karena durhaka kepada Rasul-Nya.
b). Dalil Hadits Rasul
SAW
Selain
berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an di atas, kedudukan Hadits ini juga dapat
dilihat melalui Hadits-Hadits Rasul sendiri. Banyak Hadits yang menggambarkan hal ini dan
menunjukkan perlunya ketaatan kepada perintahnya. Dalam salah satu pesannya,
berkenaan dengan keharusan menjadikan Hadits sebagai pedoman hidup di samping
Al-Qur’an, Rasul SAW bersabda sebagai berikut :
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا أَبَدْا مَا إِنْ تَمَسَكْتُمْ بِهِمَا كِتَابُ اللهِ وَسُنَّةُ رَسُوْلِهِ (رواه الحاكم)
“Aku
tinggalkan dua pusaka pada kalian. Jika kalian berpegang kepada keduanya,
niscaya tidak akan tersesat, yaitu kitab Allah (Al-Qur’an) dan sunnah
Rasul-Nya.” (H.R. Al-Hakim)
·
Dalam Hadits
lain Rasul SAW bersabda :
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتىِ وَسُنَّةِ الخُلَفَاءُ الرَاشِدِيْنِ الْمُهْدِيِّـيْنِ تُمْسِكُوْا بِهَا (رواه أبو داود)
“. . . Kalian wajib
berpegang teguh dengan Sunah-Ku dan Sunah khulafa’ ar-rasyidin yang mendapat
petunjuk, berpegang teguhlah kamu sekalian dengannya . . .” (H.R. Abu Daud)
c). Kesepakatan Ulama
(ijma’)
Seluruh umat islam telah sepakat untuk mengamalkan Hadits. Bahkan, hal itu
mereka anggap sejalan dengan memenuhi panggilan Allah SWT. dan Rasul-Nya yang
terpercaya. Kaum muslimin menerima Hadits seperti menerima Al-Qur’an Al-Karim
karena berdasarkan penegasan dari Allah SWT. bahwa Hadits merupakan salah satu
sumber ajaran islam. Allah juga memberikan kesaksian bagi Rasulullah SAW. bahwa
beliau hanya mengikuti apa yang diwahyukan. Allah SWT berfirman,
قُل لآأَقُولُ لَكُمْ عِندِى خَزَآئِنُ اللهِ وَلآأَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلآأَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ إِنْ أَتَّبِعُ إِلاَّ مَايُوحَى إِلَيَّ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الأَعْمَى وَالْبَصِيرُ أَفَلاَ تَتَفَكَّرُونَ
Katakanlah,
“Aku tidak mengatakan kepadamu bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak
(pula) aku mengetahui yang gaib, dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa
aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti, kecuali apa yang diwahyukan
kepadaku. Katakanlah, ‘apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat?’
maka apakah kamu tidak memikirkan(nya)?” (Q.S. Al-An’am [6] : 50)
d). Sesuai dengan
Petunjuk Akal
Kerasulan Nabi Muhammad SAW telah diakui dan dibenarkan oleh umat islam.
Ini menujukkan adanya pengakuan, bahwa Nabi Muhammad membawa misi untuk
menegakkan amanat dari Zat yang mengangkat kerasulan itu, yaitu Allah SWT. Dari
aspek akidah, Allah SWT bahkan menjadikan kerasulan ini sebagai salah satu dari
prinsip keimanan. Dengan demikian, manifestasi dari pengakuan dan keimanan itu
mengharuskan semua umatnya mentaati dan mengamalkan segala peraturan atau
perundang-undangan serta inisiatif beliau, baik yang beliau ciptakan atas
bimbingan wahyu maupun hasil ijtihadnya sendiri. Dari uraian di atas dapat
diketahui bahwa Hadits merupakan salah satu sumber hukum dan sumber ajaran
islam yang menduduki urutan kedua setelah Al-Qur’an. Sedangkan bila dilihat
dari segi kehujjahannya, Hadits melahirkan hokum zhanni, kecuali Hadits yang
mutawatir.
Berdasarkan kedudukannya, Al-Qur’an dan Hadits sebagai pedoman hidup dan
sumber ajaran islam, antara satu dengan yang lainnya jelas tidak dapat
dipisahkan. Al-Qur’an sebagai sumber pertama memuat ajaran-ajaran yang bersifat
umum dan global, yang perlu dijelaskan lebih lanjut dan terperinci. Di sinilah
Hadits menduduki dan menempati fungsinya, sebagai sumber ajaran yang kedua. Ia
menjadi penjelas (mubayyin) isi kandungan Al-Qur’an tersebut. Hal ini
sesuai dengan firman-Nya dalam surat An-Nahl ayat 44, yang berbunyi sebagai
berikut :
بِالبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ وَأَنزَلْنَآ إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَانُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Keterangan-keterangan
(mukjizat) dan kitab-kitab. Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu
menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan
supaya mereka memikirkan.” (Q.S. An-Nahl [16] : 44).
Kedudukan hadits atau sunnah mendekati kedudukan
Al-quran. Hadits adalah berfungsi menafsirkan nashnya, menjelaskan
pengertiannya, men-takhshish yang ‘amm, mentaqyid yang mutlaq menjelaskan yang
musykil, menjelaskan hukum-hukumnya. Oleh karena itu wajib mengikutinya
sebagaimana mengikiti al-quran.
Menurut Muhammad Rasyid Ridla, Nabi SAW menjelaskan fungsi hadits atau
sunnah dengan perkataan atau perbuatan. Penjelasan ini berupa tafshil,
takhshish dan taqyud. Akan tetapi, Nabi SAW tidak pernah membatalkan informasi dan
hukum-hukum yang terkandung dalam al-quran. Dengan istilah lain, sunnah tidak
menasakh al-quran. Dengan demikian fungsi sunnah terhadap al-quran adalah:
1.
Memberi bayan (penjelasan)
unnah memberi penjelasan terhadap kadungan al-quran yang mujmal
2. Takhsish
(pengecualian)
Sunnah memberi pengecualian terhadap yang ‘am dalam al-quran
3.
Taqyid (pembatasan)
Sunnah member pembatas terhadap kemutlakan pesan al-quran
4.
Menguatkan
Apa yang terkandung dalam sunnah menguatkan kandungan al-quran
5.
Menetapkan hukum baru
Di dalam sunnah terdapat ketentuan agama yang tidak diatur dalam
al-quran.
Dalam
kitab Ushul al-hadits dikatakan bahwa ada tiga fungsi sunnah terhadap al-quran
:
- Kalau ada penyesuaian hadits dengan al-quran, maka hadits berfungsi
sebagai penguat apa yang ada dalam al-quran, sepeti hadits tentang
perintah shalat, zakat, keharaman riba, dan sebagainya
- Kalau ia berfungsi menjelaskan dan menafsirkan yang mujmal didalam
al-quran maka hadits menjelaskan maksudnya, seperti penjelasan tentang
tata cara shalat, jumlah rakaatnya, dan waktu pelaksanaannya;
penjelasan tentang warisan, dan sebagainya. Al-quran hanya menyebutkan
waktu-waktunya secara umum, dan hadits-lah yang menjelaskan tatacara
pelaksanaannya. Untuk itu, bersama-sama dengan kaum muslimin, Rasulullah
SAW melaksanakan sembahyang lima waktu.
- Rasulullah SAW menetapkan suatu hukum yang belum ada ketentuan
nash-nya di dalam al-quran, seperti keharaman memakan keledai kampung.
C. Fungsi Hadist Terhadap Al-Quran
Al-Quran
dan Al-Hadits sebagai sumber ajaran islam, satu sama lain tidak bisa
dipisahkan. Al-Quran memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum dan global, yang
perlu dijelaskan dan diperinci lebih lanjut. Dalam hal ini haditslah yang
berfungsi sebagai penjelas dari al-quran. Hal ini sesuai dengan firman Allah
dalam surat An-Nahl 44 yang berbunyi :
بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ ۗ وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“keterangan-keterangan
(mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu
menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan
supaya mereka memikirkan,”
Fungsi
hadits sebagai penjelas terhadap Al-Quran tersebut, dapat diperinci sebagai
berikut :
1. Bayan al-Taqrir
Bayan
al-Taqrir disebut juga bayan at Ta’kid dan bayan al-Isbat. Yang dimaksud dengan
bayan ini adalah menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan di dalam
Al-Quran. Fungsi hadits dalam hal ini hanya, memperkokoh isi kandungan
Al-Quran. Menurut sebagian ulama bahwa
bayan at-Taqrir atau bayan at Ta’kid ini disebut juga dengan bayan al Muwafiq
li Nash al kitab al karim. Hak ini karena munculnya hadits-hadits itu sesuai
dan untuk memperkokoh nash Al-Quran.
2. Bayan at – Tafsir
Yang
dimaksud dengan bayan at-tafsir adalah penjelasan hadits terhadap ayat-ayat
yang memerlukan perincian atau penjelasan lebih lanjut, seperti pada ayat-ayat yang mujmal, mutlaq,
dan ‘aam. Maka fungsi hadits dalam hal ini memberikan perincian (taf-shil) dan
penafsiran terhadap ayat-ayat yang masih mutlak dan memberikan takhsis terhadap
ayat-ayat yang masih umum.
a. Memerinci ayat-ayat yang mujmal
Ayat mujmal artinya yang ringkas atau singkat.
Dari ungkapan yang singkat ini terkadang banyak makna yang perlu dijelaskan.
Dengan kata lain, ungkapannya masih bersifat global yang memerlukan mubayyin.
Dalam Al-Quran banyak sekali ayat-ayat yang
mujmal, yang memerlukan perincian sebagai contoh ialah ayat-ayat tentang
perintah Allah SWT untuk mengerjakan shalat, puasa, zakat, jual beli, nikah,
kishas, dan hudud. Ayat-ayat Al-Quran, yang menjelaskan masalah-masalah
tersebut masih bersifat global atau garis besar, atau meskipun diantaranya
sudah ada beberapa perincian, akan tetapi masih memerlukan uraian lebih lanjut
secara pasti. Hal, ini karena dalam ayat tersebut tidak dijelaskan misalnya,
bagaimana cara mengerjakannya, apa sebabnya, apa syarat-syaratnya atau, apa
halangan-halangannya. Maka Rassul SAW disini menafsirkan dan menjelaskan
secara, terperinci.
b. Men-taqyid ayat-ayat yang mutlak
Kata mutlak artinya yang menunjukan pada
hakekat kata itu sendiri apa adanya, dengan tanpa memandang kepada jumlah
maupun sifatnya. Mentaqyid dan mutlak artinya membatasi ayat-ayat yang mutlak
dengan sifat, keadaan atau syarat-syarat tertentu.
c. Men-takhsis ayat yang ‘am
Kata
‘am ialah kata yang menunjukan atau memiliki makna, dalam jumlah yang banyak.
Sedang kata, takhsis atau khash, ialah kata yang menunjukan arti khusus,
tertentu atau tunggal. Yang dimaksud men-takhsis yang ‘am disini adalah
membatasi keumuman Al-Quran sehingga tidak berlaku pada bagian-bagian tertentu.
Mengingat fungsinya ini, maka ulama berbeda pendapat apabila mukhasisnya dengan
hadits ahad. Menurut asy syafi’i dan Ahmad bin Hambal, keumuman ayat bisa di
takhsis oleh hadits ahad yang menunjukan kepada sesuatu yang khash, sedang
menurut ulama hanafiyah sebaliknya.
3. Bayan at Tashri
Kata
tashri artinya pembuatan, mewujudkan atau menetapkan aturan atau hukum. Maka
yang dimaksud dengan bayan at tashri disini ialah penjelasan hadits yang berupa
mewujudkan, mengadakan atau menetapkan suatu hukum atau aturan-aturan syara
yang tidak didapati nashnya dalam Al-Quran. Rassul SAW dalam hal ini berusaha
menunjukan suatu kepastian hukum terhadap beberapa persoalan yang muncul pada
saat itu dengan sabdanya sendiri.
Banyak
hadits Rassul SAW yang termasuk dalam kelompok ini. Diantara hadits tentang
penetapan haramnya mengumpulkan dua wanita bersaudara (antara istri dengan
bibinya), hukum syuf’ah, hukum merajam pezina wanita yang masi perawan, hukum
membasuh bagian atas sepatu dalam berwudlu, hukum tentang hak waris bagi
seseorang anak.
4. Bayan al Naskh
Kata
al nasakh secara bahasa dan bermacam-macam arti. Bisa berarti al ibtal
(membatalkan), atau al izalah (menghilangkan), atau at tahwil (memindahkan),
atau at taghyir (mengubah). Diantara para ulama, baik mutaakhirin maupun
mutaqaddimin terdapat perbedaan pendapat dalam mendefinisikan bayan an nasakh
memahami arti nasakh dari sudut kebahasaan. Menurut ulama mutaqaddimin, bahwa
yang disebut bayan an nasakh ialah adanya dalil syara yang datangnya kemudian.
Dari
pengertian di atas bahwa ketentuan yang datang kemudian dapat menghapus
ketentuan yang datang terdahulu. Hadits sebagai ketentuan yang datang kemudian
daripada Al-quran dalam hal ini dapat menghapus ketentuan atau isi kandungan
kandungan Al-Quran. Demikian menurut pendapat ulama yang menganggap adanya
fungsi bayan an-nasakh.
Di
antara para ulama yang membolehkan adanya nasakh hadits terhadap Al-Quran juga
berbeda pendapat dalam macam hadits yang dapat dipakai untuk me-nasakh-nya.
Dalam hal ini mereka terbagi dalam tiga kelompok.
Pertama, yang memperbolehkan me-nasakh al-Quran
dengan segala hadits, meskipun dengan hadits ahad. Pendapat ini di antaranya
dikemukakan oleh para ulama mutaqaddimin dan Ibn Hazm serta sebagian para
pengikut Zahiriyah.
Kedua, yang memperbolehkan me-nasakh dengan syarat
bahwa hadits tersebut harus mutawatir. Pendapat inidipegang diantaranya oleh
Mu’tazilah.
Ketiga, ulama yang membolehkan me-nasakh dengan
hadits masyhur, tanpa harus dengan hadits mutawatir. Pendapat ini dipegang diantaranya
oleh ulama Hanafiyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar