Selasa, 27 Maret 2012

Bilangan ganjil-genap di C++


#include <iostream>
#include <conio.h>
int main()
{

int bil;
cout <<"\t\t\t********************\n";
cout <<"\t\t\t****GANJIL-GENAP****\n";
cout <<"\t\t\t********************\n\n\n\n";
cout <<"\tMasukan Bilangan Bulat :";
cin>>bil;

if((bil%2)==0){
cout <<"\tBilangan Yang Anda Masukan Adalah Bilangan GENAP\n";
}else{
cout <<"\tBilangan Yang Anda Masukan Adalah Bilangan GANJIL\n";

}
getch();
}

Memunculkan nama di C++


#include <iostream>
#include <conio.h>

int main(){
char nama [30];//tipe data dan variabel

   cout<<"Siapa nama anda?? :";
   cin.getline(nama, sizeof (nama));
   cout<<"\n\n\n Haiiiii "<<nama<<", Salam Kenal :)";

   getch();
   }

membuat "Hello World" di C++


#include <iostream>
#include <conio.h>
    void main()
{
    clrscr();
  
cout<<"Hello Worl!!";
  
getch();
}

Makalah Hadist



Hadits  Sebagai Sumber Ajaran Islam
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah hadits semester genap

KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah tuhan semesta alam, yang telah menganugerahkan keni’matan kepada semua hamba-Nya, mengaruniakan atas jiwa mereka segala nur agama dan tugasnya memberi petunjuk kepada hamba-Nya menuju kebaikan dan jalan yang benar.
Dalam makalah ini didalamnya membahas tentang “hadits sebagai sumber ajaran islam”. Makalah ini menerangkan tentang .
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah sederhana ini masih jauh dari sempurna, baik dari materinya maupun susunan bahasanya. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan berbagai kritik dan saran dari manapun datangnya demi perbaikan dan penyempurnaan pada penelitian-penelitian ilmiah berikutnya.
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan menambah pengetahuan kita akan kegunaan hadits dan sumber ajaran islam.

Bandung, 04 Maret 2012












DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
Latar Belakang
BAB II
A.      Pengertian Hadits Sebagai Sumber Ajaran Islam

B.      Alasan Hadits Dijadikan Sumber Hukum Agama
C.      Fungsi Hadist Terhadap Al-Quran
BAB III
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA











BAB 1
LATAR BELAKANG

Islam sebagai agama fitrah yang berasal dari Allah SWT yang dibawakan oleh nabi besar Muhammad SAW merupakan agama samawi terakhir yang berlaku hingga akhir zaman. Agama islam merupakan satu-satunya agama samawi yang diridhoi oleh Allah SWT. Berkenaan dengan ini, islam memiliki sumber-sumber ajaran baik yang berasal dari firman Allah yakni kitab suci Al-Qur’an dan sabda Rosulullah SAW yang tertuang dalam hadits-haditsnya. Selain itu dengan berkembangnya zaman, dalam agama islam juga dikenal sumber hukum yang ketiga yakni Ijtihad yang merupakan suatu usaha untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al-Quran maupun hadits dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang, serta hasil ijtihad tidak boleh bertentangan dengan Al-Quran maupun hadits nabi. Pada makalah ini tidak akan dibahas mengenai Al-Quran tetapi yang dibahas kali ini adalah Al-Hadits.















A.     Pengertian Hadits Sebagai Sumber Ajaran Islam

Sebagaimana kita ketahui sumber ajaran agama yang pertama adalah Al-quran, kemudian hadits, ijma dan qiyas. Al-quran merupakan sumber ajaran yang pertama dan utama. Kemudian sumber yang kedua adalah hadits. Ijma dan qiyas merupakan sumber yang berasal dari ijtihad para ulama mengenai hal yang belum jelas dalam al-quran dan hadits.

Hadits adalah bentuk jamaknya hidats, hudatsa. Hadits menurut bahasa mempunyai beberapa arti yaitu :
1)      Baru atau muda (jadid), lawan dari terdahulu (qadim)
2)      Dekat(qarib), tidak lama lagi terjadi, lawan dari jauh(ba’id)
3)      Warta (khabar), berita yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain. Hadits yang bermakna khabar ini dihubungkan dengan kata hadits yang berarti riwayat, ikhbar (menggambarkan)

Kedudukan Hadis dari segi statusnya sebagai dalil dan sumber ajaran agama Islam, menurut jumhur ulama, adalah menempati posisi kedua  setelah Al-Quran, hal tersebut, terutama ditinjau dari segi wurud dan tsubut –nya al-quran adalah bersifat qath'i, sedangkan Hadis, kecuali yang berstatus mutawatir,  sifatnya adalah dzanni  al-wurud dan Hadis yang bersifat Qath'I didahulukan dari hadis yang zhanni.
Untuk lebih jelasnya,berikut ini akan diuraikan argumen yang dikemukakan para Ulama tentang posisi tersebut .
a.    Al-Quran keberadaannya yang pas dengan sifatnya yang qoth'I al-wurud (keberadannya yang pasti diyakini), baik secara ayat per ayat maupun secara keseluruhan, sudah seharusnyalah kedudukannya lebih tinggi daripada hadis yang statusnya secara hadis per hadis, kecuali yang berstatus Mutawatir, adalah bersifat zhanni al-wurud.
b.   Hadis berfungsi sebagai penjelas dan penjabar (Bayan) terhadap Al-Quran, hal ini menunjukkan Al-Quran sebagai Al-Mubayyan lebih tinggi daripada penjelasan (bayan) yaitu hadits.
c.    Sikap para sahabat yang selalu merujuk kepada Al-Quran terlebih dahulu kemudian jika didalam Al-Quran tidak dijumpai keterangannya, barulah mereka merujuk kepada hadits yang mereka ketahui, atau menanyakan hadis kepada sahabat yang lain.

B.      Alasan Hadits Dijadikan Sumber Hukum Agama
Kedudukan hadits sebagai salah satu sumber ajaran Islam telah disepakati oleh hampir seluruh ulama dan umat Islam. Dikatakan demikian, karena dalam sejararah umat Islam (dari dulu sampai sekarang) ada kalangan yang hanya berpegang pada al-qur’an dalam menjalankan ajaran agamanya.
 Seluruh umat Islam, baik yang ahli naql maupun ahli aql telah sepakat bahwa hadits atau sunah merupakan dasar hukum Islam yaitu salah satu dari sumber hukum Islam dan juga sepakat tentang diwajibkanya untuk mengikuti hadits sebagaimana diwajibkan mengikuti Al-quran.
Dalam kaitannya dengan masalah ini, Muhammad Ajjaj Al-khatib mengatakan:

 فَاْلقُرْأَنُ وَالسُّنَةُ مَصْدَرَانِ تَشْرِيْهِيَانِ مُتَلاً زَمَانِ لاَ يَمْكِنُ لِمُسْلِمِ أَنْ يَفْهَمَ الشَرِيْعَةَ الاَّ بِالرُّجُوْعِ اِلَيْهِمَا مَعًا وَلاَ غِنَى لِمُجْهد عالم

Artinya:“Al-quran dan As-sunah (Al-hadits) merupakan dua sumber hukum syariat islam yang tepat. Sehingga umat islam tidak mungkin mampu memahami syariat islam, tanpa kembali kepada kedua sumber islam tersebut. Mujtahid da orang alim pun tidak diperbolehkan hanya mencukupkan diri dengan salah satu dari keduanya.
Al-quran dan hadits merupakan sumber hukum syariat Islam yang tetap, yang orang Islam tidak mungkin memahami syariat Islam secara mendalam dan lengkap dengan tanpa kembali kepada sumber Islam tersebut. Seorang mujtahid dan seorang alimpun tidak diperbolehkan hanya mencakupkan diri dengan salah satu dari keduanya. Banyak ayat al-quran dan hadits yang memberikan pengertian bahwa hadits itu merupakan sumber hukum Islam selain al-quran yang wajib diikuti, baik dalam bentuk perintah maupun larangannya. Uraian dibawah ini merupakan paparan tentang alasan hadits dijadikan sebagai sumber hukum Islam dengan melihat beberapa dalil, baik naqli maupun aqli.

a). Dalil Al-Qur’an

Banyak ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang kewajiban untuk tetap teguh beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Iman kepada Rasul SAW sebagai utusan Allah SWT, merupakan satu keharusan dan sekaligus kebutuhan setiap individu.

Selain Allah memerintahkan umat islam agar percaya kepada Rasul SAW, juga menyerukan agar mentaati segala bentuk perumdang-undangan dan peraturan yang dibawanya, baik berupa perintah maupun larangan. Tuntutan taat dan patuh kepada Allah SWT. Banyak ayat Al-Qur’an yang berkenaan dengan masalah ini.
o   Firman Allah dalam surat Ali ‘Imran ayat 32 :

 قُلْ أَطِيعُوا اللهَ وَالرَّسُولَ فَإِن تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْكَافِرِين

“Katakanlah! Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.”

·         Dalam surat An-Nisa’ ayat 59 Allah juga berfirman :

 يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ   فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ  وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرُُ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً           
“Hai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah, Rasul, dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalilah kepada Allah dan Rasul, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.
Dari beberapa ayat Al-Qur’an di atas dapat ditarik suatu pemahaman, bahwa ketaatan kepada Rasul SAW adalah mutlak, sebagaimana ketaatan kepada Allah. Begitu pula halnya dengan ancaman atau peringatannya bagi yang durhaka; ancaman Allah SWT sering disejajarkan dengan ancaman karena durhaka kepada Rasul-Nya.

b). Dalil Hadits Rasul SAW

Selain berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an di atas, kedudukan Hadits ini juga dapat dilihat melalui Hadits-Hadits Rasul sendiri. Banyak Hadits yang menggambarkan hal ini dan menunjukkan perlunya ketaatan kepada perintahnya. Dalam salah satu pesannya, berkenaan dengan keharusan menjadikan Hadits sebagai pedoman hidup di samping Al-Qur’an, Rasul SAW bersabda sebagai berikut :

تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا أَبَدْا مَا إِنْ تَمَسَكْتُمْ بِهِمَا كِتَابُ اللهِ وَسُنَّةُ رَسُوْلِهِ    (رواه الحاكم)
“Aku tinggalkan dua pusaka pada kalian. Jika kalian berpegang kepada keduanya, niscaya tidak akan tersesat, yaitu kitab Allah (Al-Qur’an) dan sunnah Rasul-Nya.” (H.R. Al-Hakim)
·         Dalam Hadits lain Rasul SAW bersabda :

عَلَيْكُمْ بِسُنَّتىِ وَسُنَّةِ الخُلَفَاءُ الرَاشِدِيْنِ الْمُهْدِيِّـيْنِ تُمْسِكُوْا بِهَا (رواه أبو داود)
“. . . Kalian wajib berpegang teguh dengan Sunah-Ku dan Sunah khulafa’ ar-rasyidin yang mendapat petunjuk, berpegang teguhlah kamu sekalian dengannya . . .” (H.R. Abu Daud)

c). Kesepakatan Ulama (ijma’)

Seluruh umat islam telah sepakat untuk mengamalkan Hadits. Bahkan, hal itu mereka anggap sejalan dengan memenuhi panggilan Allah SWT. dan Rasul-Nya yang terpercaya. Kaum muslimin menerima Hadits seperti menerima Al-Qur’an Al-Karim karena berdasarkan penegasan dari Allah SWT. bahwa Hadits merupakan salah satu sumber ajaran islam. Allah juga memberikan kesaksian bagi Rasulullah SAW. bahwa beliau hanya mengikuti apa yang diwahyukan. Allah SWT berfirman,

 قُل لآأَقُولُ لَكُمْ عِندِى خَزَآئِنُ اللهِ وَلآأَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلآأَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ إِنْ  أَتَّبِعُ إِلاَّ مَايُوحَى إِلَيَّ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الأَعْمَى وَالْبَصِيرُ أَفَلاَ تَتَفَكَّرُونَ
Katakanlah, “Aku tidak mengatakan kepadamu bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang gaib, dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti, kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah, ‘apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat?’ maka apakah kamu tidak memikirkan(nya)?” (Q.S. Al-An’am [6] : 50)

d). Sesuai dengan Petunjuk Akal

Kerasulan Nabi Muhammad SAW telah diakui dan dibenarkan oleh umat islam. Ini menujukkan adanya pengakuan, bahwa Nabi Muhammad membawa misi untuk menegakkan amanat dari Zat yang mengangkat kerasulan itu, yaitu Allah SWT. Dari aspek akidah, Allah SWT bahkan menjadikan kerasulan ini sebagai salah satu dari prinsip keimanan. Dengan demikian, manifestasi dari pengakuan dan keimanan itu mengharuskan semua umatnya mentaati dan mengamalkan segala peraturan atau perundang-undangan serta inisiatif beliau, baik yang beliau ciptakan atas bimbingan wahyu maupun hasil ijtihadnya sendiri. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa Hadits merupakan salah satu sumber hukum dan sumber ajaran islam yang menduduki urutan kedua setelah Al-Qur’an. Sedangkan bila dilihat dari segi kehujjahannya, Hadits melahirkan hokum zhanni, kecuali Hadits yang mutawatir.
Berdasarkan kedudukannya, Al-Qur’an dan Hadits sebagai pedoman hidup dan sumber ajaran islam, antara satu dengan yang lainnya jelas tidak dapat dipisahkan. Al-Qur’an sebagai sumber pertama memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum dan global, yang perlu dijelaskan lebih lanjut dan terperinci. Di sinilah Hadits menduduki dan menempati fungsinya, sebagai sumber ajaran yang kedua. Ia menjadi penjelas (mubayyin) isi kandungan Al-Qur’an tersebut. Hal ini sesuai dengan firman-Nya dalam surat An-Nahl ayat 44, yang berbunyi sebagai berikut :

 بِالبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ وَأَنزَلْنَآ إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَانُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ       يَتَفَكَّرُونَ
“Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (Q.S. An-Nahl [16] : 44).
                  Kedudukan hadits atau sunnah mendekati kedudukan Al-quran. Hadits adalah  berfungsi menafsirkan nashnya, menjelaskan pengertiannya, men-takhshish yang ‘amm, mentaqyid yang mutlaq menjelaskan yang musykil, menjelaskan hukum-hukumnya. Oleh karena itu wajib mengikutinya sebagaimana mengikiti al-quran.
Menurut Muhammad Rasyid Ridla, Nabi SAW menjelaskan fungsi hadits atau sunnah dengan perkataan atau perbuatan. Penjelasan ini berupa tafshil, takhshish dan taqyud. Akan tetapi, Nabi SAW tidak pernah membatalkan informasi dan hukum-hukum yang terkandung dalam al-quran. Dengan istilah lain, sunnah tidak menasakh al-quran. Dengan demikian fungsi sunnah terhadap al-quran adalah:
1. Memberi bayan (penjelasan)
    unnah memberi penjelasan terhadap kadungan al-quran yang mujmal
2. Takhsish (pengecualian)
    Sunnah memberi pengecualian terhadap yang ‘am dalam al-quran
3. Taqyid (pembatasan)
     Sunnah member pembatas terhadap kemutlakan pesan al-quran
4. Menguatkan
    Apa yang terkandung dalam sunnah menguatkan kandungan al-quran
5. Menetapkan hukum baru
      Di dalam sunnah terdapat ketentuan agama yang tidak diatur dalam al-quran.      
Dalam kitab Ushul al-hadits dikatakan bahwa ada tiga fungsi sunnah terhadap al-quran :
  1. Kalau ada penyesuaian hadits dengan al-quran, maka hadits berfungsi sebagai penguat apa yang ada dalam al-quran, sepeti hadits tentang perintah shalat, zakat, keharaman riba, dan sebagainya
  2. Kalau ia berfungsi menjelaskan dan menafsirkan yang mujmal didalam al-quran maka hadits menjelaskan maksudnya, seperti penjelasan tentang tata cara shalat,   jumlah rakaatnya, dan waktu pelaksanaannya; penjelasan tentang warisan, dan sebagainya. Al-quran hanya menyebutkan waktu-waktunya secara umum, dan hadits-lah yang menjelaskan tatacara pelaksanaannya. Untuk itu, bersama-sama dengan kaum muslimin, Rasulullah SAW melaksanakan sembahyang lima waktu.
  3. Rasulullah SAW menetapkan suatu hukum yang belum ada ketentuan nash-nya di dalam al-quran, seperti keharaman memakan keledai kampung.
C.     Fungsi Hadist Terhadap Al-Quran
Al-Quran dan Al-Hadits sebagai sumber ajaran islam, satu sama lain tidak bisa dipisahkan. Al-Quran memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum dan global, yang perlu dijelaskan dan diperinci lebih lanjut. Dalam hal ini haditslah yang berfungsi sebagai penjelas dari al-quran. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nahl 44 yang berbunyi :

بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ ۗ وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan,”
            Fungsi hadits sebagai penjelas terhadap Al-Quran tersebut, dapat diperinci sebagai berikut :
1.      Bayan al-Taqrir
Bayan al-Taqrir disebut juga bayan at Ta’kid dan bayan al-Isbat. Yang dimaksud dengan bayan ini adalah menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan di dalam Al-Quran. Fungsi hadits dalam hal ini hanya, memperkokoh isi kandungan Al-Quran.  Menurut sebagian ulama bahwa bayan at-Taqrir atau bayan at Ta’kid ini disebut juga dengan bayan al Muwafiq li Nash al kitab al karim. Hak ini karena munculnya hadits-hadits itu sesuai dan untuk memperkokoh nash Al-Quran.
2.      Bayan at – Tafsir
Yang dimaksud dengan bayan at-tafsir adalah penjelasan hadits terhadap ayat-ayat yang memerlukan perincian atau penjelasan lebih lanjut,  seperti pada ayat-ayat yang mujmal, mutlaq, dan ‘aam. Maka fungsi hadits dalam hal ini memberikan perincian (taf-shil) dan penafsiran terhadap ayat-ayat yang masih mutlak dan memberikan takhsis terhadap ayat-ayat yang masih umum.
a.      Memerinci ayat-ayat yang mujmal
Ayat mujmal artinya yang ringkas atau singkat. Dari ungkapan yang singkat ini terkadang banyak makna yang perlu dijelaskan. Dengan kata lain, ungkapannya masih bersifat global yang memerlukan mubayyin.
Dalam Al-Quran banyak sekali ayat-ayat yang mujmal, yang memerlukan perincian sebagai contoh ialah ayat-ayat tentang perintah Allah SWT untuk mengerjakan shalat, puasa, zakat, jual beli, nikah, kishas, dan hudud. Ayat-ayat Al-Quran, yang menjelaskan masalah-masalah tersebut masih bersifat global atau garis besar, atau meskipun diantaranya sudah ada beberapa perincian, akan tetapi masih memerlukan uraian lebih lanjut secara pasti. Hal, ini karena dalam ayat tersebut tidak dijelaskan misalnya, bagaimana cara mengerjakannya, apa sebabnya, apa syarat-syaratnya atau, apa halangan-halangannya. Maka Rassul SAW disini menafsirkan dan menjelaskan secara, terperinci.
b.      Men-taqyid ayat-ayat yang mutlak
Kata mutlak artinya yang menunjukan pada hakekat kata itu sendiri apa adanya, dengan tanpa memandang kepada jumlah maupun sifatnya. Mentaqyid dan mutlak artinya membatasi ayat-ayat yang mutlak dengan sifat, keadaan atau syarat-syarat tertentu.
c.       Men-takhsis ayat yang ‘am
Kata ‘am ialah kata yang menunjukan atau memiliki makna, dalam jumlah yang banyak. Sedang kata, takhsis atau khash, ialah kata yang menunjukan arti khusus, tertentu atau tunggal. Yang dimaksud men-takhsis yang ‘am disini adalah membatasi keumuman Al-Quran sehingga tidak berlaku pada bagian-bagian tertentu. Mengingat fungsinya ini, maka ulama berbeda pendapat apabila mukhasisnya dengan hadits ahad. Menurut asy syafi’i dan Ahmad bin Hambal, keumuman ayat bisa di takhsis oleh hadits ahad yang menunjukan kepada sesuatu yang khash, sedang menurut ulama hanafiyah sebaliknya.

3.      Bayan at Tashri
Kata tashri artinya pembuatan, mewujudkan atau menetapkan aturan atau hukum. Maka yang dimaksud dengan bayan at tashri disini ialah penjelasan hadits yang berupa mewujudkan, mengadakan atau menetapkan suatu hukum atau aturan-aturan syara yang tidak didapati nashnya dalam Al-Quran. Rassul SAW dalam hal ini berusaha menunjukan suatu kepastian hukum terhadap beberapa persoalan yang muncul pada saat itu dengan sabdanya sendiri.
Banyak hadits Rassul SAW yang termasuk dalam kelompok ini. Diantara hadits tentang penetapan haramnya mengumpulkan dua wanita bersaudara (antara istri dengan bibinya), hukum syuf’ah, hukum merajam pezina wanita yang masi perawan, hukum membasuh bagian atas sepatu dalam berwudlu, hukum tentang hak waris bagi seseorang anak.

4.      Bayan al Naskh
Kata al nasakh secara bahasa dan bermacam-macam arti. Bisa berarti al ibtal (membatalkan), atau al izalah (menghilangkan), atau at tahwil (memindahkan), atau at taghyir (mengubah). Diantara para ulama, baik mutaakhirin maupun mutaqaddimin terdapat perbedaan pendapat dalam mendefinisikan bayan an nasakh memahami arti nasakh dari sudut kebahasaan. Menurut ulama mutaqaddimin, bahwa yang disebut bayan an nasakh ialah adanya dalil syara yang datangnya kemudian.
Dari pengertian di atas bahwa ketentuan yang datang kemudian dapat menghapus ketentuan yang datang terdahulu. Hadits sebagai ketentuan yang datang kemudian daripada Al-quran dalam hal ini dapat menghapus ketentuan atau isi kandungan kandungan Al-Quran. Demikian menurut pendapat ulama yang menganggap adanya fungsi bayan an-nasakh.
Di antara para ulama yang membolehkan adanya nasakh hadits terhadap Al-Quran juga berbeda pendapat dalam macam hadits yang dapat dipakai untuk me-nasakh-nya. Dalam hal ini mereka terbagi dalam tiga kelompok.
Pertama, yang memperbolehkan me-nasakh al-Quran dengan segala hadits, meskipun dengan hadits ahad. Pendapat ini di antaranya dikemukakan oleh para ulama mutaqaddimin dan Ibn Hazm serta sebagian para pengikut Zahiriyah.
Kedua, yang memperbolehkan me-nasakh dengan syarat bahwa hadits tersebut harus mutawatir. Pendapat inidipegang diantaranya oleh Mu’tazilah.
Ketiga, ulama yang membolehkan me-nasakh dengan hadits masyhur, tanpa harus dengan hadits mutawatir. Pendapat ini dipegang diantaranya oleh ulama Hanafiyah.